“Sejarah Asal Nama Kuningan”
Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya
Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu
kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam,
yaitu kuningan.
Dalam bahasa Sunda
(juga bahasa Indonesia),
kuningan
adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan
perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu
akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan
ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan
untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor,
kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang,
dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari
kuningan.
Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu
sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan.
Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang
hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu
juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan
beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di
daerah Ciamis
dan Kuningan
sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan
sesuatu didalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari
logam kuningan.
Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang
dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis
- dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta
Galuh (masa pra-Islam)
bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh
yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya)
sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk
menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan
menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya
perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor
kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga
tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk
mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar
Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak
teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang
perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar
jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk
mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa
tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar
pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah
agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut
benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi
pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor
kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan
penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan,
kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat
jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan
yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak
antara Kuningan
dan Ciamis,
sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya
penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya
penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Dalam Babad Cirebon dan
tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh
ulama Islam (wali)
bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita
Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan
yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan
akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita
Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat
kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan
mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa
Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung
Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau
tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat
peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan
tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung
(kota kecamatan
yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).
Tidak seperti
dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh
tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut
dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan
penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan
Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali
tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian
dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung.
Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah
dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala
daerah Kuningan
dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini
dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai
salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan.
Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik
Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi
lisan Lagenda Kuningan
yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya
mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa
berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam
masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan
warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun
keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena
menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir
abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak
awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi.
Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan
sekarang.
Adalagi menurut
cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu
diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang
bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah
seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal
kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu
upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan
menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode
wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah,
nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan,
dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad
ke-8 Masehi, Kuningan
sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan
Galuh (Ciamis
sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya
sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi
Kabupaten Kuningan.
0 komentar:
Posting Komentar