PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara
kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar
(SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan
274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta
1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu
sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan
pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan
tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan.
Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol
adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi
tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan
kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di
samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat
dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua,
pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang
disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu
bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar
sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa
kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa
gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk
pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk
pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam,
melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan
penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam
perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya
harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi
pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan
kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara
keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah
strategis.
John C. Bock, dalam Education and Development: A
Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut
sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b)
mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong
perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang
pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan
fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua
paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan
kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma
fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat
tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap
modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal
sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih
kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang
diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang
erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan.
Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang
menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic
rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan
pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b)
kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan
produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan
semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma
sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan
menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh
besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah
melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan
mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat
pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu
dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian
tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian
yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian
rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi
terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program
pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian
telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai,
indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah
bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam
suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental
input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka
akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang
dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia
pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya
bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu
asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek
pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung
tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak
pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik
yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai
engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan
maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang
merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka
pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem
persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain,
khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu
perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan
ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal
inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji,
berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai
jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan
penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling
tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah
diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah
lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif,
pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen
(bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text
bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem
persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan
Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications
menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan
teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan
khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran
terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada
kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar,
sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat
tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem
persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan
baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh
para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun
metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada
peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa
pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki
sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya,
kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi
yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process,
yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa
pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi
di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan
ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya
pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi,
melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat
adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem
persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam
pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai
bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka
konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di
antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa
pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro
upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi
ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian
selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan
pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji
kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan
memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan
bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk
meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan
dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education
and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih
tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan
keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di
dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai
lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada
paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai
dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan
unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan
Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat
kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang
lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine
of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan
formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain,
terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan
jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan
tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat
sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan
interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan
pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang
menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya
akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas,
sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan
yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem
muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan
formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari
pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur
yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang
memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses
yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double
tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa
mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia
kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta
didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan
sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka
kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain,
pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk
mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang
strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem
persekolahan.
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan
pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara
kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia
kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan
kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali
menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa
dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang
dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses
pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta
berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif
teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika
Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman"
dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini
ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub:
Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan
yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan
motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata
ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan
pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah
strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi
pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab,
desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju
sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi
sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya,
proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus
dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas
bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah.
Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level
sekolah.
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa
lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan
dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu
proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan
profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus
ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan
tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya
peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri.
Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi.
Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan
acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada
era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu
bentuk soft profession bukannya hard profession
seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru
akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk
profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru
pada era globalisasi yang kita jelang.
Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus
mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.
Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia.
Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai
persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya
Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu
dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan
yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat
ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu,
pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami
globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif
reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan
dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat
melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level
kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang
bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus
ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus
menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang
berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai
dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum
dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik
paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya
kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil
penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam
ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan
tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret
pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan
tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat
mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai
penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab
ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan
serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya
dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas
tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan
bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
BAB
I
WACANA
SEPUTAR PENDIDIKAN
1.1. Perbandingan sistem
pendidikan tradisional dengan modern
(Kajian Sistem
Pendidikan di Negara Jepang dan Amerika)
Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan
sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan
pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang
telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang
"pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya
mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok
sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S.
sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk
mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan
Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di
kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.
Team
Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di
kantor pendidikan di Washington disebut
sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek,
12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai
IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan
tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di
Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada
murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan
para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan
sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun
terakhir ini.
A. Antara Menghafal
dan Berfikir
Dimana
letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan
boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori
pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan
tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan
kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah
swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi
pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus
ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya
kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment
khusus untuk murid yang tertinggal.
Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh
kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat
dikatakan suatu sistem pendidikan yang "kaku, seragam dan tiada pilihan
bagi anak didik". Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang
antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika
Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang
memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu
dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang
tidak bisa "menikmati" enaknya sekolah.
Sebab
dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah,
ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan
innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia
dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat
kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan
disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang
lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian
dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat.
Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam
tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan
menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di
Jepang secara riil menggunakan waktu
sekolah lebih besar dari
pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di
Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan
anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan
dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus
secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar
sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan
ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru
dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru
mempunyai daya tarik.
Di
fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang,
dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan
kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian
diterbitkan menjadi buku yang berjudul "A Place called
school" ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan
ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk
berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan
guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek,
mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di
Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.
B. Kiblat
Pendidikan
Membaca
laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus
sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu
sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji
penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang
ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan
sistem pengajaran yang menekankan "proses", dengan metode pengajaran
yang disebut "Inquiry Teaching Method". Metode
ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik.
Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di
Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di
kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian
untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas
dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu
didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai
menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih
baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi
sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah
penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan
"Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara
mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode
baru yang masih sangat asing ?" Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya
Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan
mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya
Indonesia.
1.2. Konsep Pendidikan
Desentralisasi, dan De-Berlinisasi
Persoalan
yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana
meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan
tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai
skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan.
Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju
pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di
dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
A. Desentralisasi
Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman ekonom yang
pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar sekolah-sekolah
negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan pada dasarnya
adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat tergantung kepada
anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi pendidikan pada
sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem sekolah negeri,
pemerintah mengembangkan sistem "voucher", yakni pemerintah
memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan voucher,
dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah pada
gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan system
voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah yang
bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang bermutu
rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang. Lebih
lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher ini, maka
sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah yang bisa
terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu sebagai
ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher ini
bersumberkan dari ide "free fight competition".
Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan
desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai
kemandirian dalam melaksanakan pendidikan.
Ide yang berkembang di Sovyet pada hakekatnya tidak jauh
dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan masyarakat sosialis
di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan diusulkan untuk
diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah Mikhail
Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara "beruang merah"
tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Artinya,
sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara maksimal sebagaimana
yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan terdapat usaha yang terus
menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tetapi,
boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi akan meningkatkan
kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan
tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan
pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa
mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang cukup
lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di atas
tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi,
juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi
setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia
pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang
diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum
merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan
sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
B. De-berlinisasi
Apabila
disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita adalah hadirnya suatu
tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok tersebut betul-betul
memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur secara total. Tembok
yang
1.3. Restrukturisasi Pendidikan
Pada
hakekatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita
laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir di Amerika
Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa
menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan.
Struktur dan mekanisme praktik pendidikan tersebut dalam implementasinya di
negara-negara sedang berkembang menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak
sensitive terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan
dunia kerja. Seperti, pendidikan mengabaikan ide-ide baru tentang peran
pendidikan dalam masyarakat yang berubah atau era globalisasi sistem pendidikan
mengabaikan hakekat peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
tertentu, pendidikan mengabaikan adanya kecenderungan perkembangan demokrasi
dari demokrasi formal ke arah demokrasi substansial.
Ditinjau
berdasarkan paradigma pendidikan: lnput-Proses-Output, struktur dan
mekanisme praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut terlalu menekankan
aspek proses. Hal ini tidak aneh karena pengambil kebijaksanaan mendasarkan
pada premis bahwa kalau proses berjalan dengan baik secara otomatis akan
menghasilkan output yang berkualitas.
Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diputuskan adalah mengatur proses
dengan mengembangkan kebijakan agar para guru dapat dan harus melaksanakan
perilaku sebagaimana yang telah ditentukan sehingga proses dapat dapat berjalan
sebagaimana yang telah dirancang dan diyakini akan menghasilkan output
yang berkualitas. Para pengambil kebijaksanaan tidak pernah membayangkan atau
tidak mau tahu bahwa proses pendidikan tidak dapat diseragamkan. Terlalu banyak
variasi yang tidak memungkinkan seragamisasi proses pendidikan tersebut.
A. “Teaching Vs Learning”
Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang terlalu menekankan pada
proses melahirkan proses pendidikan lebih sebagai "proses pengajaran oleh
guru" (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya
sebagai "proses pembelajaran oleh murid" (student learning).
Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana
"petunjuk dari atas", terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku
tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus
disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut
karena suatu "perintah" atasan. Oleh karena itu, muncullah robot-
robot yang mengajarkan di kelas (robotic teacher). Konsekuensi lebih
lanjut adalah muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang
tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis dan beku serta
menimbulkan efek destruktif pada "keingintahuan, kepercayaan diri,
kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect" di kalangan
peserta didik. Sudah barang tentu struktur dan mekanisme praktik pendidikan
sebagaimana tersebut di atas tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan
tunututan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara
maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, di masa kini dan di
masa mendatang.
C. Kebebasan dan Otonomi
Restrukturisasi
dan deregulasi pendidikan yang diperlukan adalah mencakup empat aspek: a).
Orientasi pembelajaran siswa, b). Profesionalitas guru, c). Accountability
sekolah, dan d). Partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar
dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari paradigma pendidikan, Input-Proses-Output,
tiga aspek pertama menyangkut aspek input dan aspek keempat menyangkut output.
Dengan demikian, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan lebih mengarah pada
pembenahan aspek input daripada aspek proses. Secara spesifik restrukturisasi
dan deregulasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kompetensi
guru dan murid untuk mencapai prestasi setinggi mungkin.
Komitmen dan
kompetensi guru diharapkan terutama adalah bahwa guru harus memiliki pemahaman
yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (Depth of Understanding)
dan mampu menyampaikan materi dengan penuh kreatifitas dan improvisasi yang
orisinil, sehingga proses belajar mengajar terasa segar dan alami (authentic
learning).
Sudah barang
tentu komitmen dan kompetensi guru semacam itu banyak dipengaruhi proses yang
terjadi pada pre-service training pada lembaga pendidikan guru. Oleh karena
itu, kebijakan yang perlu dikembangkan pada pasca proses pendidikan guru adalah
mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi serta kebebasan yang
lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja profesional dan orang yang
paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan
kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. lnstruksi, pengarahan, dan petunjuk
dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.
Kalau guru mendapatkan otonomi dan kepercayaan penuh mereka akan memiliki
rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan pendidikan.
Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan kemampuan dan
pengalaman profesional yang mereka miliki secara penuh dalam proses belajar
mengajar. Dengan otonomi dan kebebasan dalam menjalankan proses pembelajaran (learning
process), guru akan lebih berhasil dibandingkan kalau guru hanya terpaku
pada petunjuk dan pengerahan teknik dari birokrat kantoran (the office level
bereucrat) yang dalam banyak hal tidak praktis dan terlalu teoritis.
Demikian pula dengan adanya otonomi dan kebebasan yang dimiliki sekolah, guru
memiliki lebih banyak kesempatan untuk merencanakan kerja sama di sekolah,
mengarahkan peserta didik agar lebih banyak individual atau kelompok kecil
dibandingkan dalam proses belajar mengajar kelompok besar dan dari itu sekolah
akan dapat diciptakan sebagai dunianya peserta didik sendiri.
D. Partisipasi Masyarakat
Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan target
yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang tentu target
tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik tanpa membedakan latar
belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai prestasi pada tingkat tertentu.
Target bisa dikembangkan pada berbagai skop sekolah. Dengan adanya target
sebagai standar, masyarakat bisa ikut mengevaluasi seberapa jauh keberhasilan
sekolah dalam mencapai tujuan.
Terbukanya
kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik untuk mengevaluasi proses
pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat sekitar dan khususnya
orangtua peserta didik dalam menyelenggarakan pendidikan. Misalnya, sekolah
bisa mengundang orangtua dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan dan operasionalisasi kegiatan sekolah. Orangtua dan
masyarakat sekitar yang mampu bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pembiayaan
pendidikan. Dengan demikian, pada level makro, secara nasional bisa
dilaksanakan realokasi anggaran pembangunan pendidikan. Anggaran pendidikan
pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah-sekolah yang memiliki
peserta didik dengan latar belakang yang kurang mampu. Sedangkan bagi
sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari orangtua berlatar belakang
sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting dalam
pembiayaan sekolah.
Bahkan tidak
hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar yang harus memiliki skop
regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan secara langsung terlibat dalam
menyukseskan pendidikan di wilayah masing-masing. Diharapkan pemerintah
setempat bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung pencapaian target
pendidikan tersebut. Misalnya, pemerintah kelurahan menetapkan "jam
belajar" bagi anak usia tertentu. Pada jam-jam tersebut anak-anak tidak
boleh bermain. Dengan kata lain pelayanan kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan
proses pendidikan.
Kepada
setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus dilakukan dalam
proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian target yang telah
ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan bersifat product oriented,
berlawanan process oriented, yang dilakukan sekarang ini. Untuk
mencapai target yang telah ditentukan kepada guru perlu diberikan insentif dan
sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada guru yang berhasil melampaui target
yang telah ditentukan. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada guru yang melakukan
tindak kecurangan, misalnya mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil
pembelajaran peserta didik.
1.4. Paradigma Baru
Pengajaran
Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan
dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada,
selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan
pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat
digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic.
Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan
dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus
dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses
pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama,
budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa
usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau
tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain.
Pendekatan
microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di
mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi
tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini
memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan.
Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan
hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan
dalam bidang keguruan.
A. Paradigma ilmu keguruan
Proses
belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan.
Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu
keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa
murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke
mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana
mengevaluasi keberhasilan tersebut?
Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah
air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa,
memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid,
anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan
keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak
yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang
peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati
dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam
kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia.
Pengembangan pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan
pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan
tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri.
Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik
memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau
keterampilan tersebut.
Program-program
pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah
pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh
ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam
memecahkan problem pendidikan. Mengapa?
Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang.
Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak
direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian yang
solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program
pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi
tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih
penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah
air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang
diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan
problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu
mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya
"krisis", di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti
dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan
mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi
murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan
dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya
keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan,
untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru.
B. Paradigma
baru pengajaran
Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari
Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan
metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai
kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara
mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA
mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek
pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting
bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga
bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi
sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat
"hypothetical". Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa
yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi
yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan
kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial.
Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma
baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan.
Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur
mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara
keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD
Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a)
di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari
bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka
ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini
bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan
sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu
bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar.
Melihat
kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia anak : dinamis,
aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun
menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya
pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya, bagaimana pembaharuan
di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di seluruh Indonesia?
Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan
perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut
untuk memiliki "Duit" (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih
keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses belajar-mengajar dengan
CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran,
merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak
lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis
tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar
mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan jembatan menuju
revolusi ilmu keguruan.
1.5. Agenda Reformasi
Pendidikan
Sejarah
perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah membuktikan tesis human
investment, pentingnya peran kualitas sumber daya manusia dalam
pembangunan. Berdasarkan tesis tersebut telah muncul strategi pembangunan yang
dikenal dengan istilah human-reseources based economic development,
yang telah dipraktekkan dan mengantar negara-negara, seperti Taiwan, Korea
Selatan, Singapore menjadi negara-negara industri baru.
Dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang peran yang
penting. Sumber daya manusia yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan bangsa hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang
berdasarkan filosofis bangsa itu sendiri. Sistem
pendidikan cangkokan dari luar tidak akan mampu memecahkan problem yang
dihadapi bangsa sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk melahirkan suatu
sistem pendidikan nasional yang berwajah Indonesia dan berdasarkan Pancasila
harus terus dilaksanakan dan semangat untuk itu harus terus menerus
diperbaharui.
Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa
depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam
kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya
apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa
menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan,
agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki
kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain
dalam kehidupan global ini.
A. Kecenderungan Globalisasi
Proses
globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun yang dapat
menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan
segala berkah, problem dan tantangan-tantangan yang menyertainya. Pembangunan
pendidikan harus mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan global yang akan
terjadi. Beberapa kecenderungan global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia
pendidikan antara lain adalah: Pertama, proses investasi dan re-investasi yang
terjadi di dunia industri berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan yang sangat cepat pula pada organisasi kerja, struktur
pekerjaan, struktur jabatan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan.
Sebaliknya, praktek pendidikan tradisional berubah sangat lambat, akibatnya mismacth
education and employment cenderung semakin membesar.
Kedua,
perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin cepat akan
melahirkan "knowledge worker" yang semakin besar jumlahnya.
Knowledge worker ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan information
processing.
Ketiga,
berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul kecenderungan bahwa
pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward
to future basics, yang mengandalkan pada peningkatan
kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think menekankan
pada pengembangan critical thinking, how to learn
menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan mandiri menguasai
dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada pengembangan
kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-beda.
Keempat,
berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi, yang antara
lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam munculnya tuntutan pelaksanaan
school based management dan site-specific solution. Seiring
dengan itu, karena kreatifitas guru, maka akan bermunculan berbagai bentuk
praktek pendidikan yang berbeda satu dengan yang lain, yang kesemuanya untuk
menuju pendidikan yang produktif, efisien, relevan dan berkualitas.
Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis
yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab-akibat yang sederhana,
tetapi memerlukan analisis system yang saling bergantungan.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut di atas menuntut kualitas sumber daya manusia yang berbeda dengan
kualitas yang ada dewasa ini. Muncul pertanyaan mampukah praktek pendidikan
kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai untuk menghadapi
kecenderungan-kecenderungan di atas?
B. Praktek pendidikan
dewasa ini
Orientasi
pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek pendidikan
berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar untuk
meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan tersebut.
Setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada,
yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran
dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai dua kutub ekstrim
yang terentang secara kontinyu.
Dimensi
status anak didik terentang dari anak didik berstatus sebagai obyek atau klien
dan anak didik berstatus sebagai subyek atau sebagai warga dalam pendidikan.
Dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru. Dimensi ini terentang
dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator
dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan, yang memiliki
rentang dari materi bersifat materi oriented atau subject oriented sampai problem
oriented. Dimensi keempat, manajemen pendidikan terentang dari manajemen
yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based
management.
Orientasi
pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek
atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktrinator, materi bersifat subject oriented, manajemen
bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut
menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil
yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan
kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan inteiektual
yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang
utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan
untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi
ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan
apa yang telah dihafalkan.
Akibat
dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang antara
lain berupa-kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional dan kesenjangan
kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di
sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini
disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa
transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai
suatu insitusi yang berdiri sendiri yang bukan merupakan bagian dari
masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu, praktek pendidikan kita
bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan kurikulum secara erratic.
Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang
diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya guru terus
terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam
memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan
mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang
dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan
& kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan okupasional, kesenjangan
antara dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata
disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang
datang dari dunia kerja. Sedangkan, kesenjangan kultural ditunjukkan oleh
ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi
dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai
akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis
kepada peserta didik.
Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots dan culturalroot
dari berbagai persoalan yang dihadapi. John
Simmon dalam bukunya Better Schools sudah memprediksi bahwa hasil
pendidikan tradisional semacam itu hanya akan melahirkan lulusan yang hanya
pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin. Jenis kerja yang mereka pilih
adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal, bukannya kerja yang memerlukan
inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship.
Sudah
barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia tersebut di atas, bangsa
Indonesia sulit untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan yang muncul sebagai
akibat adanya kecenderungan global.
C. Reformasi
pendidikan suatu keharusan?
Reformasi
pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kemampuan guru dan murid
untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana diharapkan. Dengan reformasi
pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang
memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut di atas. Oleh karena
itu, reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek dalam pendidikan: aspek
organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru dan aspek interaksi sekolah
dan masyarakat.
Dominasi
birokrasi dan kontrol politik yang berlebih-lebihan dari pusat atas sekolah dan
proses belajar-mengajar melahirkan organisasi dan kultur sekolah yang tidak
mendukung proses pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis cenderung menimbulkan
rigiditas dalam proses pendidikan, karena pendidikan diperlakukan secara
klasikal dan mekanistis sebagai suatu industri yang bisa dilaksanakan dengan
instruksi dari pusat. Birokrasi dan sentralisasi dalam pendidikan telah menimbulkan
kultur birokratis di lingkungan sekolah. Kepala sekolah lebih setia berkorban
bagi pejabat atasannya dari pada memperjuangkan nasib para guru. Demikian pula
guru lebih patuh mengikuti pendapat kepala sekolah dari pada memperjuangkan
nasib peserta didiknya. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis
sentralistis dan kultur sekolah otoriter
birokratis telah gagal melaksanakan transmisi pengetahuan, sikap dan
pola pikir peserta didik untuk mengantisipasi baik dalam dunia kerja maupun
dalam dunia perguruan tinggi.
Oleh
karena itu, organisasi sekolah perlu direformasikan ke dalam organisasi sekolah
yang mendasarkan school-based management atau site-specific
solutions agar muncul berkembangnya budaya dialog profesional di
lingkungan sekolah-sekolah.
Organisasi sekolah yang berwajah lokal dalam kegiatannya
senderung senantiasa mendasarkan pada consensus lewat dialog dan diskusi yang
terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan kepala sekolah yang selama ini
ditunjukkan oleh pemerintah perlu diganti dengan kepala sekolah yang mungkinkan
sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja
kepala sekolah beserta staf administrasi merupakan tim yang demokratis jika
orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan
sebagai klien. Guru akan dapat mengajar dengan lebih baik dan peserta didik
akan dapat belajar di sekolah lebih baik pula apabila kepala sekolah bertindak
sebagai seorang pemimpin pendidik daripada sebagai manajer. Begitu pula proses
belajar-mengajar akan lebih "bergairah dan hidup" apabila kultur
sekolah demokratis dengan mengundang partisipasi dari segenap warga sekolah.
Organisasi
dan kultur sekolah sebagaimana dikemukakan di atas cenderung mengembangkan
kerja guru tidak semata-mata sebagai kerja individu melainkan sebagai 'kerja
tim, yang memiliki berbagai tugas yang harus dikerjakan bersama. Banyak bukti
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah akan dapat berjalan dengan lebih baik apabila
guru-guru diorganisir dalam suatu tim yang masing-masing anggota memiliki peran
yang sederajat, otonom, saling menghormati, dan saling membantu, dari pada guru
diorganisir berdasarkan pada otoritas yang bersifat hirarkhis. Bentuk kerja tim
akan merupakan suatu keluarga yang satu sama lain memiliki hubungan yang akrab
dan masing-masing saling membantu bekerjasama untuk mencapai keberhasilan bagi
kesemuanya. Di antara anggota keluarga memiliki pemahaman yang mendalam satu
sama lain, sehingga interaksi dan dialog menjadi bersifat alami.
Diibaratkan
keluarga yang demokratis, sebagai orang tua guru dilihat sebagai pemegang dan
penjaga nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan keluarga tersebut, lewat
mata pelajaran yang disampaikan dan interaksi dialog. Interaksi sebagai seorang
guru tetap dijaga dalam sekolah yang demokratis. Guru memiliki kebebasan
akademik untuk mencari dan mengkaji pengetahuan yang akan disampaikan kepada
peserta didik. Demikian pula, guru sebagai orang tua dalam keluarga memiliki
wewenang untuk menganulir keputusan yang bertentangan dengan demokrasi.
D. Pekerjaan dan
kondisi guru
Pekerjaan
guru dilaksanakan di ruang kelas yang terisolir. Hal ini membawa konsekuensi
meski guru menghadapi peserta didik, tetapi tidak memiliki kolega, dalam arti
kolega yang bisa mengamati dan diajak dialog berkaitan dengan tugas-tugas
pendidikan. Guru hampir menghabiskan seluruh waktunya dengan peserta didik di
ruang-ruang kelas, sehingga interaksi antar guru sangat minimal dan terbatas.
Kurang adanya dialog antar mereka menyebabkan guru merupakan individu yang
harus senantiasa mengisi dan mengembangkan dirinya sendiri. Apabila antar guru
sempat berdialog, mereka jarang membicarakan persoalan yang dihadapi berkaitan
dengan tugas-tugas profesional mereka. Inilah yang membedakan profesi guru dan
profesi yang lain. Kalau dokter ketemu dokter mereka berdialog tentang penyakit
yang melanda suatu daerah atau temuan-temuan teknik pengobatan baru. Kalau
arsitek ketemu arsitek mereka membicarakan bagaimana teknik bangunan yang
mutakhir. Sebaliknya, kalau guru ketemu guru, mereka berdialog tentang kredit
kendaraan mereka atau potangan gaji yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian
dapat dikatakan kultur kerja guru bersifat sangat individualistis dan non collaborative.
Pekerjaan
dan kondisi guru erat berkaitan dengan aspek organisasi dan kultur sekolah.
Organisasi dan kultur sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk berperilaku
berbeda dari apa yang sudah ditentukan. Kalau ada guru yang memiliki kemampuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik, akan dihambat oleh kondisi sekolah.
Karena otonomi guru sangat terbatas, mengakibatkan proses belajar mengajar
menjadi monoton, kaku dan membosankan. Dengan kata lain, organisasi dan kultur
sekolah menimbulkan guru tidak sepenuhnya memiliki kekuasaan untuk mengelola
proses belajar-mengajar. Ditambah lagi, gaji kecil dan status sosial di
masyarakat rendah.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan kalau pekerjaan guru tidak menarik bagi
individu-individu yang berbakat dan memiliki otak cemerlang. Mereka, guru-guru
muda yang semula memiliki semangat mengembangkan misi intelektual setelah
beberapa tahun kehilangan semangat dan akhirnya menjadi guru tanpa inspirasi,
berperilaku rutin dan penuh keputusan. Organisasi dan kultur sekolah cenderung
mendorong ke proses pemfosilan intelektual dengan membunuh kreatifitas intelektual
di kalangan guru.
Keadaan
sekolah menjadi bertambah buruk karena guru oleh birokrat kantoran dianggap
hanya sebagai pelaksana kurikulum, penjaga peserta didik, tidak memiliki
inspirasi dan kreatifitas dan kemandirian sebagai seorang individu. Para guru
diperlakukan layaknya sebagai robot.
Pekerjaan
guru memerlukan kemampuan intelektual dan mempergunakan emosi. Jika emosi guru
terkuras oleh hal-hal yang sesungguhnya bersifat non akademik, beban pekerjaan
administrasi yang menumpuk, kekurangan waktu untuk mempersiapkan proses belajar
mengajar dan ditambah lagi dukungan untuk memperkuat kemampuan intelektual
mereka sangat lemah, maka kecil kemungkinan proses pendidikan akan menghasilkan
lulusan yang berkualitas.
Kondisi minimal yang diperlukan adalah guru harus
memiliki waktu untuk merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran,
mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan, memiliki kesempatan untuk mendapatkan
kritik, komentar dan saran-saran baik dari kolega di sekolah atau di luar
sekolah. Di samping itu, guru harus dipandang sebagai individu yang memiliki
tanggung jawab penuh dalam proses belajar mengajar, sebagai individu yang
mampu memikirkan dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan
untuk kebaikan peserta didik, sebagai individu yang mampu membuat sesuatu guna
meningkatkan kualitas pendidikan.
Apabila
sekolah, kepala sekolah dan guru, diberi otonomi yang lebih besar dalam
menjalankan proses pendidikan, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang
lebih besar. Mereka akan memiliki kebanggaan atas sukses dicapai dan sebaliknya
mereka merasakan kepedihan yang mendalam akan kegagalan yang dialami peserta
didiknya. Hal ini akan menimbulkan komitmen untuk bekerja memberikan yang
terbaik.
Meningkatnya
otoritas yang dimiliki guru untuk mengendalikan proses pendidikan, memungkinkan
mereka menggunakan seluruh kemampuan profesional dan pengalaman mereka dalam
melaksanakan pekerjaan. Guru tidak harus bekerja dengan mendasarkan pada
petunjuk teknis yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi yang dalam banyak
hal bersifat teoritis, melainkan guru memilik kebebasan untuk melaksanakan
tugas dengan cara yang mereka anggap paling tepat, paling efisien dan paling
baik. Dengan memiliki kesempatan untuk menerapkan teknik-teknik yang mereka
anggap baik akan dapat meningkatkan efisiensi kerja guru. Guru akan
melaksanakan pengajaran yang menekankan pada pemahaman yang bermakna dan
pembelajaran yang otentik (authentic learning) daripada
pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan. Demikian pula
guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh
semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar
belakang mereka. Dengan demikian, pemberian otonomi pada sekolah akan dapat
diharapkan meningkatkan kemampuan tehnis guru.
E. Keterkaitan
sekolah dan masyarakat
Sekolah
harus selalu mengembangkan kultur yang dapat mendukung proses belajar mengajar
lebih baik. Sayangnya pembaharuan pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini
terlalu menekankan pada aspek teknis, fungsional dan individualistik tanpa
menyentuh sedikitpun aspek kultur sekolah ini. Model ini dipengaruhi oleh ide
bahwa sekolah sebagai suatu perusahaan atau industri yang melayani kebutuhan
individu. Oleh karena itu pendidikan semacam itu akan bersifat fragmented
yang satu dengan yang lain terpisah tidak ada kesatuan, dan melihat sekolah
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri bukan merupakan bagian dari masyarakat
sekitar. Akibatnya, hubungan dan interaksi antara sekolah dan masyarakat
sekitar tidak pernah terjadi. Hal ini berarti sekolah telah menelantarkan
sumber belajar yang sangat bermanfaat dan bermakna bagi proses belajar
mengajar.
Oleh
karena itu, salah satu aspek dalam sekolah yang perlu direformasi adalah
hubungan sosial di antara warga sekolah termasuk orangtua murid dan masyarakat
sekitar. Partisipasi orangtua dan masyarakat dalam kehidupan sekolah akan
merupakan modal pokok dalam proses pendidikan. Sekolah harus menjadikan dirinya
bagian dari kemasyarakatan. Setiap kegiatan sekolah adalah merupakan kegiatan
masyarakat sekitar, sebaliknya setiap kegiatan masyarakat merupakan kegiatan
sekolah.
Hubungan
antara sekolah dan masyarakat sekitar ini ditujukan untuk mencapai dua hal:
Pertama, sekolah memiliki komunitas peserta didik yang berdomisili tidak
terlalu jauh dari sekolah. Dengan demikian, akan terjadi proses rayonisasi
berdasarkan domilisi. Dengan adanya rayonisasi fungsional ini akan menimbulkan
sinkronisasi antara kegiatan sekolah dengan kegiatan kemasyarakatan, sehingga
peserta didik bisa belajar dan menyerap kehidupan dari masyarakatnya. Kedua,
dengan adanya rayonisasi fungsional tersebut akan muncul kaitan emosional
antara masyarakat dengan sekolah. Ketiga, adanya kaitan emosional ini akan
mengundang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada
urmumnya dan dalam pemberdayaan pendidikan pada khususnya.
F. Strategi
reformasi
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, reformasi pendidikan yang dilakukan diarahkan untuk
merubah organisasi dan kultur sekolah, pekerjaan guru dan keterkaitan sekolah
dan masyarakat, dengan tujuan untuk mengembangkan komitmen dan kemampuan guru
dan siswa guna mencapai prestasi setinggi mungkin untuk semua peserta didik,
tanpa memandang latar belakang mereka.
Strategi
yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi adalah: Pertama, karena luasnya
cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan pada: a) masing-masing sekolah
memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan; b) orangtua
dan masyarakat bekerjasama dengan guru untuk kemajuan peserta didik; c) sekolah
harus mengembangkan suatu sistem pelaporan tentang kemajuan pendidikan yang
dengan cepat dan secara periodik dapat dikaji orangtua dan masyarakat; d) guru
harus memiliki kesempatan yang luas untuk merancang kegiatan dan mengembangkan
kerjasama antar kolega guru ataupun dengan orangtua dan masyarakat sekitar; e)
peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kerja kelompok atau
kerja individual dan sebaliknya kerja kelompok kelas dikurangi.
Kedua,
reformasi pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai kemungkinan yang timbul
dari kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu, perlu disediakan "room
for manoeuvre" bagi sekolah atau guru. Hal ini perlu agar kebijakan
yang baru tidak terjebak oleh aturan dan prosedur yang bersifat birokratis. Di
samping itu, "room for manoeuvre" ini diperlukan untuk
antisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan, seperti: kurang adanya guru yang
berkuatitas, kualitas guru rendah, fasilitas yang tidak memadai, dan
sebagainya.
Ketiga,
pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan pendekatan proses.
Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing sekolah bisa
meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung kebijakan masing-masing
sekolah. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan dan menentukan: a) standar
pendidikan yang harus dicapai, b) insentif terutama tidak jujur dalam masalah
akademik dan, c) melibatkan aparat birokrasi propinsi, kabupaten/kotamadya dan
kecamatan untuk mendukung keberhasilan pencapaian target dari sekolah yang ada
di wilayahnya masing-masing.
Keempat,
di masing-masing sekolah diminta untuk mengembangkan gugus kendali mutu yang
secara terus menerus mencari mode-model dan teknik-teknik yang paling efisien
dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar.
G. Meningkatkan
peran masyarakat
Rendahnya mutu lulusan ini dikaitkan dengan rendahnya
kualitas IKIP Pengkaitan rendahnya lulusan SMU dengan rendahnya kualitas IKIP
tidaklah salah. Namun, perlulah difahami bahwa kualitas lulusan SMU tidak lepas
dari kualitas lulusan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama dan bahkan pula kualitas lulusan sekolah dasar.
Usaha
meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat manapun juga akan sulit terlaksana,
apabila kualitas pendidikan yang lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh
karenanya, peningkatan kualitas pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi
mutlak yang diperlukan untuk meningkatkan mutu lulusan SMU.
Dalam
mengembangkan pendidikan tingkat dasar, terdapat beberapa problem yang perlu
untuk segera mendapatkan perhatian. Problem yang dimaksud antara lain yang
menyangkut infernal inefficiency, yang dapat diamati dalam ujud konkret
berupa besarnya angka drop-out dan mengulang kelas.
a) Wajib
belajar
Drop-out dan
ulang kelas pada kelas yang sama dikategorikan sebagai tanda-tanda
penyelenggaraan pendidikan tidak efisien. Sebab dengan drop-out berarti
tujuan pendidikan tidak tercapai, sedangkan biaya pendidikan terlanjur sudah
dikeluarkan. Sedang ulang kelas berarti perlu ada biaya lipat untuk murid yang
sama. Seandainya tidak ada murid yang mengulang kelas, maka biaya tersebut bisa
digunakan untuk murid yang lain. Mengapa sampai ada drop-out dan ulang
kelas. Kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk menghilangkan drop-out
dan ulang kelas tersebut.
Banyak
faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah (drop-out) pada
tingkat sekolah dasar. Antara lain, erat hubungannya dengan keadaan ekonomi
keluarga, yakni anak diperlukan untuk membantu kerja orang tua mencari nafkah.
Alasan ini banyak ditemui di daerah pedesaan. Hal ini erat sekali kaitannya
dengan kehidupan di pedesaan di mana anak sejak dini sudah dilibatkan dalam
pekerjaan yang secara tidak langsung maupun langsung mempengaruhi pendapatan
keluarga.
Pemerintah
dan juga masyarakat sudah berusaha memecahkan masalah drop-out ini
dengan berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang tepat. Bisa disebutkan antara
lain, sistem wajib belajar untuk anak umur sekolah dasar, dan sistem orang tua
asuh. Hasilnya sudah bisa dilihat. Tahun demi tahun persentase drop-out
menurun.
b) Sebab-sebab
ulang kelas
Berbeda dengan masalah putus sekolah, masalah ulang kelas
masih belum dapat dipecahkan. Hal ini nampak angka ulang kelas untuk tingkat
Sekolah Dasar masih tinggi. Dari tahun ke tahun persentase angka ulang kelas
tidak banyak mengalami perubahan.
Masalah
ulang kelas merupakan masalah yang sangat kompleks. Berbagai faktor terlibat
dalam masalah ini. Antara lain, faktor kemampuan murid, faktor kemampuan guru
dan sistem penilaian dan eveluasi yang digunakan guru, dan faktor sistem
pendidikan sendiri. Faktor kemampuan murid sebenarnya erat kaitannya dengan
faktor motivasi murid yang relatif rendah
untuk belajar lebih keras. Hal
ini kaitannya dengan kemampuan
guru dalam memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar lebih rajin.
Banyak keluhan yang keluar dari kalangan guru tentang masalah memberi motivasi
ini. Guru tidak saja bertugas memberikan pelajaran, tetapi juga memberikan
motivasi merupakan rangkaian dalam memberikan pelajaran tersebut. Kemampuan
mengajar tanpa diimbangi kemampuan memberi motivasi kepada anak didik, akan
cencerung menjadikan pelajaran dirasakan membosankan bagi para siswa.
c) Usaha
mengatasi ulang kelas
Cara
yang paling efektif untuk mengatasi ulang kelas adalah dengan menghilangkan
sistem kenaikan kelas itu sendiri. Anak didik akan otomatis naik ke kelas di
atasnya. Namun sistem ini memerlukan perlakuan khusus bagi anak yang tertinggal
pelajaran. Di samping itu, melaksanakan sistem ini salah-salah bisa menurunkan
kualitas pendidikan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan orang tua dalam
proses pendidikan dan mengembangkan kelompok belajar di masyarakat.
Faktor orang tua dalam keberhasilan belajar anak sangat
dominan. Banyak penelitian baik di dalam maupun di luar negeri menemukan
kesimpulan tersebut. Faktor orang tua bisa dikategorikan ke dalam dua variabel:
variabel structural dan variabel proses. Yang dapat dikategorikan variabel
struktural antara lain latar belakang status sosial ekonomi, pendidikan,
pekerjaan dan penghasilan orang tua. Sedangkan variabel proses adalah berupa
perilaku orang tua dalam memberikan perhatian dan bantuan kepada anaknya dalam
belajar. Untuk bisa mewujudkan variabel kedua tersebut tidak harus tergantung
pada variabel pertama. Artinya, tidak hanya keluarga "kaya" atau
berpendidikan tinggi bisa menciptakan variabel proses. Contoh variabel proses
antara lain: orang tua menyediakan tempat belajar untuk anaknya; orang tua
mengetahui kemampuan anaknya di mana anak mempunyai nilai paling bagus;
pelajaran apa anak paling tidak bisa; apa kegiatan anak yang paling banyak
dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah; orang tua sering menanyakan tentang
apa yang dipelajari anaknya; orang tua membantu anaknya dalam belajar.
Seringkali
orang beranggapan bahwa hanya "keluarga yang mampu" bisa memberikan
fasilitas anak untuk belajar dengan "baik". Sesungguhnya pendapat ini
tidaklah benar sepenuhnya. Tempat belajar tidak bisa hanya diartikan
semata-mata dalam ujud fisik. Melainkan, tempat belajar lebih menitik-beratkan
pada suasana yang bisa mendukung anak belajar dengan baik. Misalnya pada
jam-jam belajar yang telah ditentukan, tidak boleh ada Radio atau TV
dihidupkan, tidak diperbolehkan siapapun ngobrol.
Bantuan
orang tua sangat diperlukan oleh anak, manakala anak menghadapi kesulitan dalam
belajar. Sekolah perlu memberikan informasi kepada orang tua apa yang perlu
dilakukan oleh orang tua dalam membantu mensukseskan pendidikan
putera-puteranya. Sebaliknya, orang tua harus selalu mendatangi undangan
pertemuan wali murid misalnya. Ataupun, orang tua jangan segan-segan menemui
guru untuk membicarakan hal ihwal anaknya. Alangkah indahnya, khususnya di
daerah pedesaan, kalau sekolah bisa memberikan pedoman tertulis tentang apa
yang harus dilakukan oleh orang tua untuk membantu sekolah anak-anaknya. Dalam
kaitan ini perlu ditingkatkan peran BP3, tidak hanya menangani masalah yang
berkaitan dengan SPP, tetapi juga mempunyai tugas untuk mengembangkan
kerjasama antara sekolah dan orang tua.
Namun,
masalahnya tidak semua orang tua bisa membantu anak dalam belajar. Apalagi
kalau anak sudah duduk di kelas 5 atau 6. Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan
perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, misalnya
PKK. Kelompok PKK di kampung atau di desa-desa bisa banyak berperan dalam
memberikan pedoman bagaimana yang seharusnya dilakukan, terutama oleh lbu-ibu
dalam membantu belajar anak-anaknya. Kelompok PKK bisa menyelenggarakan kursus
matematika bagi ibu-ibu, misalnya. Ataupun kursus-kursus yang lain yang bisa
digunakan untuk membantu belajar anaknya.
Cara
yang kedua untuk mengurangi angka ulang kelas adalah dengan menyelenggarakan kursus
atau pelajaran tambahan. Prestasi anak didik erat kaitannya dengan kegiatan
kursus-kursus atau pelajaran tambahan. Tetapi, peserta kursus pada umumnya
harus membayar, maka hanya murid-murid dari kalangan keluarga yang kurang mampu
tidak bisa membayar biaya kursus untuk anaknya. Hal ini akan berakibat prestasi
anak dari keluarga yang miskin akan semakin jauh tertinggal dari anak yang
"mampu".
Demikian
pula, karena kursus-kursus banyak diselenggarakan di kota-kota, maka prestasi
anak di kota akan jauh lebih tinggi dari pada anak-anak di desa. Dalam kaitan
ini perlulah masyarakat menyelenggarakan kursus-kursus atau pelajaran tambahan
untuk beberapa mata pelajaran yang dirasa sulit. Kembali, kelompok-kelompok
kegiatan yang ada di masyarakat bisa menangani. Misalnya kelompok PKK atau
kelompok Pemuda.
Peningkatan kualitas SD dan SLTP (pendidikan dasar)
merupakan kondisi mutlak yang harus diujudkan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan secara keseluruhan. Tanggung jawab untuk meningkatkan mutu tersebut
tidak hanya ada pada guru atau sekolah, tetapi juga ada pada pundak orang tua
dan masyarakat. Kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat akan menentukan
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan dasar.
BAB II
PROBLEMATIKA SEPUTAR GURU
2.1. Meningkatkan Kualitas Guru
Setiap kali kita berada pada masa akhir tahun ajaran sekolah perhatian
masyarakat akan tertuju kepada betapa rendahnya kualitas pendidikan sekolah
menengah yang ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai ebtanas murni (NEM). Rendahnya
skor di atas akan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan rendahnya
kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas
pendidikan sasaran sentral yang dibenahi adalah kualitas guru dan kualitas
pendidikan guru.
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan
pendidikan guru telah dilaksanakan dengan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan, misalnya diintroduksirnya proyek perintis sekolah pembangunan,
pengajaran dengan system modul, pendekatan pengajaran CBSA, tetapi mengapa
sampai detik ini usaha-usaha tersebut belum juga menunjukkan hasilnya?
A. Mengabaikan guru
Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, khususnya kualitas guru dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas
guru dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan pandangan dari
"luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak
kebijaksanaan di bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama
sekali tidak mendengarkan suara guru. Pengambilan keputusan yang menyangkut
guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai seseorang yang memiliki
"kepribadian".
Sebagai contoh yang masih hangat adalah diintroduksirnya pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif dalam proses belajar mengajar. Keyakinan para pengambil
kebijaksanaan atas kehebatan CBSA telah mendorong dikeluarkannya penetapan
keharusan guru untuk menggunakan pendekatan tersebut dalam proses belajar
mengajar. Barangkali keyakinan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga
berdasarkan hasil-hasil penelitian. Namun sayangnya penetitian-penelitian yang
menyangkut proses belajar mengajar di kelas selama ini lebih banyak bersifat
informatif sehingga jauh dari memadai dikarenakan penelitian tersebut melihat
pengajaran pandangan "luar guru".
Pengambil kebijaksanaan di bidang pendidikan tidak pernah menghayati apa
dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi di ruang-ruang kelas. Misalnya, dampak
jumlah murid yang besar, keberanian murid untuk menyampaikan gagasan rendah,
motivasi lebih terarah untuk belajar guna menghadapi tes daripada belajar untuk
memahami pelajaran yang disampaikan guru, target materi pelajaran yang begitu
berat bagi seorang guru, dan sebagainya. Kalau hal-hal tersebut mendapat
perhatian niscaya kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran
bisa lain, paling tidak untuk sementara waktu.
Patut disimak misalnya pertanyaan yang diajukan oleh guru-guru:
"Mengapa kita tidak dilatih saja bagaimana cara mengajar dengan ceramah
yang paling tepat dan baik, dari pada diharuskan mengajar dengan CBSA?
Seharusnya sesudah bisa melaksanakan pengajaran dengan metode ceramah yang
benar baru kita belajar metode yang lain".
Tersendat-sendatnya pelaksanaan CBSA dewasa ini merupakan bukti bahwa
setiap kebijaksanaan di bidang pendidikan, apalagi pengajaran di kelas, yang
meninggalkan pandangan guru sebagai orang yang paling tahu keadaan kelas
cenderung mengalami kegagalan, sebab "pandangan guru" sangat
diperlukan dalam setiap usaha peningkatan kualitas hasil pendidikan.
B. Mentalitas dan vitalitas
Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan oleh guru
untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga bisa terus menanjak pangkatnya
sampai jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama para guru harus memperbanyak
tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan
materi pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut
bisa dilaksanakan dalam perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun
dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini
hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya,
hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas
proses belajar mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu
hendaknya faktor-faktor yang bersifat struktural administrative harus
disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus
kepala sekolah.
Kedua, akan lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan
ilmiah yang dihadiri para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan
oleh para guru sendiri. Dengan demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk
ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh
para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di
lembaga-lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu
diyakini pada semua fihak bahwa hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa
yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah
sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang
nyata-nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di
kelas.
Masih terlalu banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan proses belajar
mengajar di kelas yang sampai saat ini belum terpecahkan dan perlu untuk
dipecahkan. Misalnya, langkah-langkah apa harus dilaksanakan untuk menghadapi
murid yang malas atau mempunyai jati diri yang rendah atau pemalu di kelas.
Bagaimana mendorong peserta didik agar mempunyai motivasi untuk membaca.
Bagaimana cara menanggulangi peserta didik yang senantiasa mengganggu temannya.
Masalah-masalah di atas jarang diteliti, kalaupun pernah diteliti maka
pendekatannya terlalu teoritis akademis sehingga tidak dapat diterapkan dalam
praktek proses belajar mengajar sesungguhnya.
Ketiga, guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil
penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada
alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan dalam menulis laporan
penelitian.
C. Peran PGRI
Sebagai suatu organisasi professi guru yang memiliki anggota lebih dari dua
juta, PGRI secara moral mempunyai tanggung jawab untuk mendorong dan memberikan
agar para guru bisa melaksanakan tiga kegiatan di atas. PGRI bias memperbanyak
pertemuan-pertemuan ilmiah, menerbitkan pedoman-pedoman penelitian yang dapat
cepat dicerna guru, menerbitkan jurnal-jumal sebagai media komunikasi ilmiah
para anggota, dan melaksanakan lomba penelitian atau karya tulis yang lain.
Untuk itu, kiranya PGRI perlu lebih meningkatkan kualitas tubuhnya sendiri.
2.2. Standar Profesional Guru
Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan disadari satu kebenaran
fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan
guru-guru yang profesional, yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru
untuk merencanakan pendidikan di masa depan.
Dalam kaitan mempersiapkan guru yang berkualitas dimasa depan, dunia
pendidikan di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada persoalan bagaimana
meningkatkan kualitas sekitar 2 juta guru yang sekarang ini sudah bertugas di
ruang-ruang kelas.
A. Kualitas dan karir
Pada dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung
jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak
pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru
untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar
profesional.
Kesadaran ini akan timbul dan berkembang sejalan
dengan kemungkinan pengembangan karir mereka. Oleh karena itu pengembangan
kualitas guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai,
baik negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa pendapatan dan
karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari
peningkatan kualitas seseorang selaku guru.
Urutan proses di atas menunjukkan bahwa jenjang kepangkatan dan jabatan
yang tinggi hanya bisa dicapai oleh guru yang memiliki kualitas profesional
yang memadai. Sudah barang tentu alur pikir tersebut didasarkan pada asumsi
bahwa peningkatan jenjang kepangkatan dan jabatan guru berjalan seiring dengan
peningkatan pendapatannya.
Proses dari timbulnya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan profesional di
kalangan guru, timbulnya kesempatan dan usaha, meningkatnya kualitas
profesional sampai tercapainya jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi
memerlukan iklim yang memungkinkan berlangsungnya proses di atas. Iklim yang
kondusif hanya akan muncul apabila di kalangan guru timbul hubungan kesejawatan
yang baik, harmonis, dan obyektif. Hubungan tersebut bisa dimunculkan antara
lain lewat kegiatan profesional kesejawatan.
Dengan demikian, untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu
dikembangkan kegiatan professional kesejawatan yang baik, harmonis, dan
obyektif. Secara sistematis pengembangan kesejawatan ini memerlukan:
- wadah
/kelembagaan
- bentuk
kegiatan,
- mekanisme,
- standard
professional practice.
B. Wadah dan kelembagaan
Wadah dan kelembagaan untuk pengembangan kesejawatan adalah kelompok yang
merupakan organ bersifat non-struktural dan lebih bersifat informal. Wadah ini
dikembangkan berdasarkan bidang studi atau rumpun bidang studi pada
masing-masing sekolah. Anggota yang memiliki kepangkatan tertinggi dalam setiap
rumpun diharapkan bisa berfungsi sebagai pembimbing.
Kalau ada anggota memiliki kepangkatan yang sama, maka diharapkan secara
bergiliran salah satu darinya berfungsi sebagai pembimbing anggota yang lain.
Dengan bentuk wadah dan kelembagaan semacam ini maka di setiap sekolah akan
terdapat lebih dari satu kelompok.
Keberadaan kelompok akan memungkinkan para guru untuk bisa tukar fikiran
dengan rekan sejawat mengenai hal ikhwal yang berkaitan interaksi guru dengan
para siswa. Bagi seorang pekerja profesional, termasuk guru, komunikasi
kesejawatan tentang profesi yang ditekuni sangatlah penting. Namun sayangnya,
justru komunikasi kesejawatan inilah yang belum ada di kalangan profesi guru di
tanah air kita.
C. Asah, asuh, asih
Kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan di mana antara anggota
sejawat bisa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri
masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada
urnumnya.
Asah artinya satu dengan anggota sejawat yang lain saling membantu untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya. Asuh berarti di antara anggota
kesejawatan saling membimbing dengan tulus dan ikhlas untuk peningkatan
kemampuan profesional dan asih berarti di antara anggota kesejawatan terdapat
hubungan kekeluargaan yang akrab.
Oleh karena itu kelompok yang beranggotakan para guru suatu bidang studi
sejenis harus menitik-beratkan pada aktifitas profesional.
Secara terperinci kegiatan kelompok ditujukan untuk:
1. Meningkatkan
kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Kegiatan
yang dilaksanakan antara lain :
a. Diskusi tentang satuan pelajaran.
b. Diskusi tentang substansi meteri pelajaran.
c. Diskusi pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi
pengajaran.
d. Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawat di kelas.
e. Mengembangkan evaluasi penampilan guru oleh peserta didik.
f. Mengkaji hasil evaluasi penampilan guru oleh peserta didik
sebagai feedback bagi anggota kelompok.
- Meningkatkan
penguasaan dan pengembangan keilmuan, khususnya bidang studi yang menjadi
tanggung jawabnya. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
a. Kajian
jurnal dan buku baru.
b. Mengikuti
jalur pendidikan formal yang lebih tinggi.
c. Mengikuti
seminar-seminar dan penataran-penataran.
d. Menyampaikan
pengalaman penataran dan seminar kepada anggota kelompok.
e. Melaksanakan
penelitian.
- Meningkatkan
kemampuan untuk mengkomunikasikan masalah akademis.
Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain:
a. Menulis
artikel.
b. Menyusun
laporan penelitian.
c. Menyusun
makalah.
d. enyusun
laporan dan review buku.
D. Mekanisme
Kegiatan kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan.
Sebagaimana konsep asah, asuh dan asih, maka setiap anggota kelompok memiliki
hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang
jenjang kepangkatan, jabatan dan gelar akademik yang disandangnya. Secara
bergiliran setiap anggota melaksanakan kegiatan sebagaimana disebutkan di atas.
Input, feedback, komentar dan saran-saran sejawat
atas penampilan salah seorang anggota kelompok kesejawatan diberikan baik
secara tertulis maupun secara lisan sesuai dengan kebutuhan. Untuk hasil
observasi kelas, misalnya kelompok kesejawatan mungkin bisa mengembangkan
format observasi bisa dilaksanakan secara sistematis, objektif dan rasional,
sehingga anggota yang diobservasi bisa memperoleh input tertulis di samping
juga input lisan.
Secara periodik ketua-ketua kelompok kesejawatan di setiap bidang studi di
sekolah bisa mengadakan diskusi atau pertemuan guna membahas kemajuan dan
perkembangan kelompok masing-masing.
E. Standar Profesional Guru
Pada dasarnya kelompok yang diuraikan di atas adalah merupakan wadah
aktifitas profesional untuk meningkatkan kemampuan profesional guru. Aktifitas
yang dimaksudkan ini tidak bersifat searah, melainkan bersifat multiarah.
Artinya, aktifitas yang dilaksanakan bersifat komprehensif dan total yang
mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran, dan
bimbingan.
Untuk menjamin bahwa kegiatan kelompok bisa berlangsung dengan baik,
sehingga dapat diujudkan hubungan timbal balik kesejawatan yang obyektif bebas
dari rasa rikuh, pekewuh dan sentimen perlu dikembangkan suatu norma
kriteria yang obyektif sebagai dasar untuk saling memberikan penilaian terhadap
karya dan penampilan sejawat.
Akan lebih baik kalau norma dan kriteria ini harus dikembangkan oleh
masing-masing kelompok kesejawatan itu sendiri. Sudah barang tentu pengembangan
norma dan kriteria kesejawatan ini berdasarkan acuan kerangka teoritis dan
praktis yang bisa dikaji. Misalnya norma dan kriteria untuk menilai proses
belajar mengajar yang baik bisa dikembangkan berdasarkan "kerangka perilaku"
guru yang baik.
2.3. Profil Guru Masa Depan
Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning
guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses
rekayasa ini peranan "teaching" amat penting, karena merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan
dan nilai kepada siswa sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri
sendiri, dan berguna tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya.
Mengajar hanya dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang yang
telah melewati pendidikan tertentu yang memang dirancang untuk mempersiapkan
guru. Dengan kata lain, mengajar merupakan suatu profesi. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, muncul dua kecenderungan:
Pertama, proses mengajar menjadi sesuatu kegiatan yang semakin bervariasi,
kompleks, dan rumit. Kedua, ada kecenderungan pemegang otoritas structural,
ingin memaksakan kepada guru untuk mempergunakan suatu cara mengajar yang
kompleks dan sulit. Sebagai akibat munculnya dua kecenderungan di atas, maka
guru dituntut untuk menguasai berbagai metode mengajar dan diharuskan
menggunakan metode tersebut. Misalnya, mengharuskan mengajar dengan CBSA. Untuk
itu, guru harus dilatih dengan berbagai metode dan perilaku mengajar yang
dianggap canggih. Demikian pula, di lembaga pendidikan guru, para mahasiswa
diharuskan menempuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan mengajar. Namun
sejauh ini perkembangan mengajar yang semakin kompleks dan rumit belum
memberikan dampak terhadap mutu siswa secara signifikan. Tidaklah mengherankan
kalau kemudian muncul pertanyaan mengapa mengajar menjadi sedemikan kompleks
dan rumit?
A. Profesi mengaiar
Pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Hard
profession dan Soft Profession. Suatu pekerjaan dapat
dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat
didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti.
Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output
pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan
seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang
sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri
meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter dan pilot merupakan contoh
yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya,
kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan
secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus
diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi
kategori soft profession tidak menuntut pendidikan yang dapat menghasilkan
lululsan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan
kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waktu harus ditingkatkan agar
dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu, lembaga in-service framing bagi soft-profession
amat penting. Barangkali, wartawan dan advokat, merupakan contoh dari kategori
profesi ini.
Mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan
dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan
individu siswa, kondisi lingkungan, dan keyakinan yang dimiliki oleh guru.
Dalam proses belajar mengajar, guru adalah orang yang akan mengembangkan
suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik, mengekspresikan
ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara
konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi para siswa.
Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya
akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batasbatas kekinian,
berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dalammelaksanakan tugas
tersebut guru akan dihadapkan pada perbagai problem yang muncul dan sebagian
besar problem tersebut harus segera dipecahkan serta diputuskan pemecahannya
oteh guru itu sendiri pada waktu itu pula. Sebagai konsekuensinya, yang akan
dan harus dilakukan oleh guru tidak mungkin dapat dirumuskan dalam suatu
prosedur yang baku.
Agar transfer tersebut dapat berlangsung dengan lancar, maka guru paling
tidak harus senantiasa melakukan tiga hal: a) menggerakkan, membangkitkan dan
menggabungkan seluruh kemampuan yang dimiliki siswa; b) menjadikan apa yang
ditransfer menjadi sesuatu yang menantang diri siswa, sehingga muncul intrinsic-motivation
untuk mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer
sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan yang lain.
Profesi guru adalah lebih cocok dikategorikan sebagai Soft Profession.
Karena dalam mengajar guru dapat melaksanakan dengan berbagai cara yang tidak
harus mengikuti suatu prosedur baku, dan aspek dan "sense" dan "art"
memegang peran yang amat penting. Misalnya, mungkin saja seorang guru mengajar
dengan menyajikan kesimpulan pada awal pelajaran yang kemudian baru
dilaksanakan pembahasan. Pada kesempatan lain, ia mengajar dengan menyampaikan
bahasan dulu baru menarik kesimpulan. Kalau dokter membedah dahulu baru
kemudian membius berarti dokter tersebut melakukan malpraktek, dan pasti akan
menghasilkan kecelakaan.
Namun, dewasa ini pekerjaan mengajar diperlakukan sebagai hard profession,
sehingga mengajar menjadi suatu proses yang sedemikian kompleks. Sebagai
konsekuensinya, maka perlu disusun suatu prosedur perilaku baku dalam mengajar.
Secara sadar atau tidak, proses pembakuan prosedur mengajar ini mematikan
kreativitas guru. Akibat lebih jauh adalah pekerjaan mengajar bersifat inhuman,
diperlakukan sebagai suatu bagian dalam proses industri, yang dapat
dikendalikan dan diatur dengan serangkaian Juklak dan Juknis. Kematian
kreativitas guru sebagai suatu kehilangan yang patut ditangisi. Sebab,
kreativitas adalah merupakan "ruh" dalam proses belajar mengajar.
B. Dimensi mengajar
Proses transfer pengetahuan atau sering dikenal dengan istilah Proses
Belajar Mengajar (PBM) memiliki dua dimensi. Pertama adalah aspek kegiatan
siswa: Apakah kegiatan yang dilakukan siswa bersifat individual atau bersifat
kelompok. Kedua, aspek orientasi guru atas kegiatan siswa: Apakah difokuskan
pada individu atau kelompok. Berdasarkan dua dimensi yang masing-masing
memiliki dua kutub tersebut terdapat empat model pelaksanaan PBM. Pertama, apa
yang disebut Self-Study. Yakni, kegiatan siswa dilaksanakan secara individual
dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat individu. Model pertama ini
memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa dapat memusatkan perhatian
perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan dari luar, yakni guru. Siswa harus dapat
mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima ke dalam pengetahuan yang telah
dimiliki. Untuk pelaksanaan model Self-Study ini perlu didukung dengan
peralatan teknologi, seperti komputer. Keberhasilan model ini ditentukan
terutama oleh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri.
Kedua, apa yang dikenal dengan istilah cara mengajar tradisional. Model ini
memiliki aktivitas siswa bersifat individual dan orientasi guru mengarah pada
kelompok. Pada model ini kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa
yang diceramahkan guru. Seberapa jauh siswa dapat mendengar apa yang
diceramahkan guru tergantung pada ritme guru membawakan ceramah itu sendiri.
Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang didengar ke dalam pengetahuan yang
telah dimiliki apabila siswa dapat mengkaitkan pengetahuan dengan apa yang
diingat. Model ini sangat sederhana, tidak memerlukan dukungan teknologi, cukup
papan tulis dan kapur. Keberhasilan model ini banyak ditentukan oleh otoritas
guru.
Ketiga, apa yang disebut model Persaingan. Model ini memiliki aktivitas
yang bersifat kelompok, tetapi orientasi guru bersifat individu. Model ini
menekankan partisipasi siswa dalam kegiatan PBM, semua siswa harus aktif dalam
kegiatan kelompok tersebut. Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam
kegiatan akan ditentukan oteh seberapa jauh kegiatan memiliki kebebasan dan
dapat membangkitkan semangat kompetisi. Pengetahuan yang diperoleh dan dapat
dihayati merupakan hasil diskusi dengan temannya. Model ini memerlukan
teknologi baik berupa alat ataupun berupa manajemen seperti bentuk konferensi
dan seminar. Keberhasilan model ini terutama ditentukan oleh adanya saling
hormat dan saling mempercayai di antara siswa. CBSA, merupakan salah satu
contohnya.
Keempat, apa yang dikenal dengan istilah Model Cooperative-Collaborcitive.
Model ini memiliki aktivitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru
juga bersifat kelompok. Model ini menekankan kerjasama di antara para siswa,
khususnya. Kegiatan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah
merupakan konsensus di antara mereka. Konsensus ini didasarkan pada nilai-nilai
yang dihayati bersama. Oleh karena itu, dalam kelompok akan senantiasa
dikembangkan pengambilan keputusan. Kebersamaan dan kerjasama dalam
pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan
belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan
kerjasama dalam pembelajaran ini juga di arahkan untuk mengembangkan kemampuan
kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan
tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan
hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu
siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat
berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan
menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai
satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan
keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan
kemajuan kelompoknya.
Keempat model tersebut tidak ada yang lebih baik satu atas yang lain. Sebab
modal mengajar yang baik adalah model mengajar yang cocok dengan karakteristik
materi, kondisi siswa, kondisi lingkungan dan kondisi fasilitas. Di samping itu
pula, di antara keempat model tersebut tidaklah bersifat saling meniadakan.
Artinya, sangat mungkin dalam mengajar memadukan berbagai model tersebut di
atas.
Keempat model tersebut pada intinya menekankan bahwa dalam proses belajar
mengajar apa yang dilaksanakan memiliki empat aspek, yakni: a) menyampaikan
informasi, b) memotivasi siswa, c) mengkontrol kelas, dan, d) merubah social
arrangement.
C. Kemampuan yang dibutuhkan
Agar dapat melaksanakan empat langkah tersebut di atas, guru hanya
memerlukan tiga kemampuan dasar, yakni a) didaktik, yakni kemampuan untuk
menyampaikan sesuatu secara oral atau ceramah, yang dibantu dengan buku teks,
demontrasi, tes, dan alat bantu tradisional lain; b) coaching, di mana
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan mempraktikan
keterampilannya, mengamati sejauh mana siswa mampu mempraktekkan keterampilan
tersebut, serta segera memberikan umpan balik atas apa yang dilakukan siswa;
dan, c) socratic atau mauitic question, di mana guru
menggunakan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa mengembangkan pandangan
dan internalisasi terhadap materi yang dipelajari. Tanpa menguasai tiga
kemampuan dasar tersebut, ibaratnya pemain sepakbola yang tidak memiliki
kemampuan dasar bermain bola, seperti bagaimana menendang atau heading
yang baik dan benar, betapapun dididik dengan gaya samba Brazil atau gerendel
Italia tetap saja tidak akan dapat memenangkan pertandingan. Demikian pula
untuk guru, tanpa memiliki tiga kemampuan dasar tersebut, betapapun para guru
dilatih berbagai metode mengajar yang canggih tetap saja prestasi siswa tidak
dapat ditingkatkan. Sebaliknya, dengan menguasai tiga kemampuan dasar tersebut,
metode mengajar apapun akan dapat dilaksananakan dengan mudah oleh yang
bersangkutan. Sudah barang tentu apabila guru telah menguasai dengan baik
materi yang akan disampaikan.
Sudah saatnya posisi mengajar diletakan kembali pada profesi yang tepat,
yakni sebagai soft profession, di mana unsur art dan sense
memegang peran yang amat penting. Oleh karena itu, untuk pembinaan dan
pengembangan profesional kemampuan guru yang diperlukan bukannya instruksi,
juklak dan juknis serta berbagai pedoman lain,
yang cenderung akan mematikan kreativitas guru. Melainkan, memperbaiki
dan meningkatkan tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana
tersebut di atas, serta memberikan kebebasan kepada guru untuk berinovasi dalam
melaksanaakan proses belajar mengajar.
2.4. Globalisasi dan Tuntutan Peningkatan
Kualitas Guru
Globalisasi merupakan suatu keniscayaan bagi semua bangsa. Bangsa Indonesia
sudah mulai merasakan bagaimana manis dan pahitnya terbawa arus globalisasi.
Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto tidak lepas dari
berkah reformasi. Sebaliknya, merebaknya kejahatan dan pornografi, misalnya,
tidak dapat dilepaskan dari rasa pahit globalisasi. Globalisasi akan membawa
perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan, termasuk bidang
teknologi, ekonomi dan sosial politik.
A. Kecenderungan perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi pada akhir abad XX ini berlangsung sangat cepat,
terutama bertumpu pada tiga bidang: bio-teknologi, material science
atau teknologi bahan dan teknologi Elektronika dan Komputer. Perkembangan
bio-teknologi telah mempengaruhi berbagai jenis produk, seperti bidang
kesehatan dan obat-obatan dan bahan makan. Temuan-temuan bio-teknologi akan
menghasilkan berbagai produk sinthesis. Di bidang ilmu bahan, telah
memungkinkan diciptakannya berbagai bahan konstruksi yang tidak perlu merusak
lingkungan, karena bukan barang tambang. Temuan yang akan memiliki dampak tidak
kalah pentingnya adalah di bidang elektronika. Temuan di bidang ini melahirkan
berbagai produk teknologi komunikasi, robot, dan laser.
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi memungkinkan transaksi business
lewat kaca komputer, sedangkan pengembangan robot memungkinkan lahirnya tenaga
kerja robot untuk dunia industri. Kecermatan dan disiplin kerja robot sudah
barang tentu akan melebihi kemampuan tenaga kerja manusia. Perkembangan bidang
komputer telah memungkinkan dimanfaatkan dalam berbagai produk, seperti pilot
automatics pada pesawat terbang, menjadikan rancang bangun produk semakin
cepat dan cermat, memudahkan pelayanan jasa transportasi dan berbankan.
Temuan-temuan di produk laser menghasilkan kemajuan di bidang ilmu kedokteran. Berbagai operasi akan dapat
dilaksanakan dengan memanfaatkan sinar laser. Perkembangan laser juga merupakan
fondasi untuk perkembangan teknologi komunikasi lebih lanjut.
Temuan-temuan bidang teknologi akan terus berkembang karena adanya sifat
saling mengkait antara temuan satu dengan temuan yang lain. Temuan di bidang
bio-teknologi dikombinasikan dengan bidang material science akan mampu
menghasilkan "bahan yang canggih". Bahan ini dikembangkan pada level "moleculer".
Hasilnya, produk bahan baru ini akan
lebih ringan, lebih kecil, lebih kuat dan lebih fleksibel, sehingga dapat
digunakan sebagaimana yang diinginkan. Kombinasi ternuan bio-teknologi dan material
science juga akan mempercepat perkembangan bidang komputer, dengan
diketemukannya, produk sumber padat energi tinggi. Produksi-produksi
elektronika memerlukan energi. Tanpa diketemukan produk sumber energi,
pekembangan produk elekttronika akan terhambat. Sebaliknya, ternuan produk
sumber energi yang lebih padat dan lebih tinggi kekuatannya, maka perkembangan
produksi elektronika akan semakin meningkat. Temuan chip komputer akan memungkinkan
seseorang membawa komputer dalam saku bajunya. Komputer tersebut sangat
interaktif dan wireless. Multi fungsi terdapat dalam komputer, sebagai
alat telepon, fax dan penyimpan data. Di samping itu, perkembangan industri
komputer akan melahirkan "Edutainment", yakni pendidikan yang
menjadi hiburan dan hiburan yang merupakan pendidikan. Dengan "Edutainment"
proses pendidikan akan semakin menarik dan menghasilkan lulusan yang semakin
berkualitas.
B. Kecenderungan
perkembangan bidang ekonomi.
Keberhasilan revolusi di bidang pertanian pada akhir abad XX telah
mengurangi ketergantungan bangsa-bangsa Asia akan bahan makan dari luar negeri
dan bahkan pada awal abad XXI ketergantungan tersebut akan dapat dihilangkan
sama sekali. Sudah barang tentu hai ini akan meningkatkan kemampuan ekonomi
nasional, khususnya neraca pembayaran.
Seiring dengan proses revolusi hijau, bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia
Timur dan Asia Tenggara telah memulai proses industrialisasi. Di penghujung
abad XX dan memasuki abad XXI, bangsa-bangsa di Asia sedang mempercepat
revolusi industri dalam jangka waktu 50 tahun yang di negaranegara Barat
revolusi ini berlangsung selama 200 tahun. Pada awal abad XXI enam dari sepuluh
besar negara-negara dengan GDP tertinggi akan diduduki oleh negara-negara di
Asia: China, Jepang, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand. Pertumbuhan
pesat yang mungkin dapat disebutsebagai keajaiban ataupun keanehan, disebabkan
oleh; a) kemampuan dalam mengelola sumber daya manusia, b) kerja keras
penduduknya, baik dari kalangan buruh, pengusaha, ataupun pejabat pemerintah,
c) orientasi achievement ekonomi di kalangan politikus, dan, d)
kemampuan memobilisasi investasi. Pada tahun-tahun mendatang, pertumbuhan
ekonomi di negara-negara Asia akan berlangsung sekitar 6 sampai dengan 10
persen per tahun, sebaliknya negara-negara lain hanya mampu tumbuh rata-rata
sekitar 2 persen. Kecenderungan pertumbuhan ini merupakan daya tarik bagi para
penanam modal asing. Sifat spiralitas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia tersebut di atas akan semakin tinggi.
Perkembangan bidang bio-teknologi akan berdampak pada
bidang ekonomi. Kemajuan teknologi akan meningkatkan kemampuan produktivitas
dunia industri baik dari aspek teknologi industri maupun pada aspek jenis
produksi. Investasi dan reinvestasi yang berlangsung secara besar-besaran yang
akan semakin meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak
perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting. Tanda-tanda
telah menunjukkan bahwa akan segera muncul teknologi bisnis yang memungkinkan
konsumen secara individual melakukan kontak langsung dengan pabrik sehingga
pelayanan dapat dilaksanakan secara langsung dan selera individu dapat
dipenuhi, dan yang lebih penting konsumen tidak perlu pergi ke toko. Namun, di
sisi lain kemajuan di bidang teknologi menyebabkan juga dunia industri tidak
memerlukan tenaga kerja sebanyak pada masa sebelumnya. Hasilnya, penyerapan
tenaga kerja tidak sebagaimana yang diharapkan.
Kecenderungan perkembangan teknologi dan ekonomi, akan berdampak pada
penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan.
Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan akan mengalami
perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan
yang menghasilkan tenaga kerja yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill
sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut.
C. Kecenderungan
perkembangan bidang sosial politik
Kemajuan di bidang teknologi yang diiringi dengan kemajuan di bidang
ekonomi memiliki dampak sosio-politik dan kultural masyarakat. Kemajuan
teknologi di bidang kedokteran dan kemajauan ekonomi mampu menjadikan produk
kedokteran menjadi komoditi, dan akan menyebabkan perubahan besar di bidang
demografi.
Angkatan kerja muda di Indonesia dan di negara-negara Asia pada urnumnya
mendominasi bagian penduduk. Mereka menguasai pengetahuan dan teknologi,
sehingga mampu mengoperasikan teknologi yang modern. Hal ini merupakan hasil
dari keberhasilan di bidang pendidikan yang dapat memberikan kesempatan
penduduk usia sekolah untuk mengikuti pendidikan formal. Angka partisipasi
pendidikan di kawasan Asia sangat tinggi. Di bidang kesehatan kemajuan yang
dicapai tidak kalah dengan bidang pendidikan. Perluasan fasilitas kesehatan
sudah sampai pelosok desa, sehingga tingkat kesehatan penduduk meningkat, di
samping angka pertumbuhan penduduk dan kematian bayi dan anak merosot tajam.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, angka kematian bayi di Indonesia
masih cukup tinggi. Tetapi, diramalkan pada awal abad XXI angka tersebut turun
dengan drastis. Dengan nutrisi dan kesehatan yang semakin baik, tenaga kerja
Indonesia akan semakin mampu bersaing di pasar internasional, mampu
memanfaatkan sistem ekonomi dan politik modern, dan menjadi tentara yang mampu
mengoperasionalkan persenjataan canggih.
Stabilitas politik telah dinikmati oleh sebagian besar negara-negara Asia,
khususnya di Asia Timur dan Tenggara, dan lebih khusus lagi di Indonesia.
Sistem pemerintahan di negara-negara sering disebut "soft authoritarian",
di mana hak-hak asasi, perumahan, makan, kesehatan, pendidikan, kesempatan
kerja dan jaminan keselamatan dapat dipenuhi, tetapi kebebasan politik
dibatasi. Memang, beberapa negara di Asia masih melaksanakan pemerintahan yang
bersifat otoriter, seperti Myanmar.
Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di kawasan ini akan mendorong munculnya
kelas menengah baru. Kemampuan, keterampilan serta gaya hidup mereka sudah tidak
banyak berbeda dengan kelas menengah di negara-negera Barat. Dapat diramalkan,
kelas menengah baru ini akan menjadi pelopor untuk menuntut kebebasan politik
dan kebebasan berpendapat yang lebih besar.
Perubahan politik di negara-negara Asia, ditunjukkan oleh adanya proses
regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan generasi pertama negara-negara Asia
modern, seperti Sukarno dan Nehru, sudah diganti dengan generasi kedua atau
bahkan generasi ketiga. Seperti di Jepang dari generasi Yoshida, sudah diganti
dengan generasi kedua, Kiichi Miyazawa dan generasi ketiga Ryutaro Hashimoto.
Demikian pula, Korea Selatan, dari generasi pertama, Syngman Rhee telah diganti
genersi kedua, Chun Doo Hwan dan diganti generasi ketiga Kim Yung Sam. Sudah
barang tentu peralihan generasi kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan
substtansi politik yang diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin
kental.
Di bidang politik internasional, juga terdapat kecenderungan tumbuh
berkembangnya regionalisme. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi telah
menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah dengan kemajuan di bidang
teknologi transportasi telah menyebabkan meningkatnya kesadaran tersebut.
Kesadaran itu akan terujud dalam bidang kerjasama ekonomi, sehingga regionalisme
akan melahirkan kekuatan ekonomi baru.
D. Kecenderungan perkembangan bidang
kultural
Secara umum, abad XXI akan ditandai dengan munculnya kekuatan ras dan
budaya baru. Bangsa-bangsa Asia tidak lagi sebagai warga yang harus taat pada
hukum internasional Barat yang didominasi oleh tradisi Judeo-Christian, tetapi
mereka juga menuntut untuk ikut menyusun hukum itu, yang dijiwai oleh Hindu,
Budha, confusianisme dan Islam. Kedua tradisi tersebut, Barat dan Asia, di
samping persamaan juga memiliki perbedaan yang tajam. Tradisi Barat lebih
bersifat logis dan analitis, sedangkan tradisi Asia lebih bersifat intuitif dan
seringkali emosional. Tradisi Barat menekankan hak-hak, sedangkan tradisi Asia
lebih menekankan kewajiban. Tradisi
Barat lebih menekankan pada individu, di Asia menekankan masyarakat. Di
Barat keputusan diambil dengan voting, di Asia dengan musyawarah.
Kemajuan ekonomi di negara-negara Asia melahirkan
fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan
rasa percaya diri dan ketahanan diri
sebagai suatu bangsa akan
semakin kokoh. Bangsa-bangsa Barat tidak lagi dapat
melecehkan bangsa-bangsa Asia.
Kekuatan baru negara-negara Asia akan mematahkan dominasi Barat di dunia
intemasional. Malahan John Naisbitt dalam MegaTrend Asia, meramalkan
perkembangan yang terjadi di negara-negara Asia merupakan perkembangan yang
penting di dunia. Dampaknya tidak saja bagi bangsa Asia, tetapi juga bagi
seluruh penghuni planet ini. Proses modernisasi yang berlangsung di Asia akan
mempengaruhi perkembangan dunia pada abad XXI.
Perkembangan yang cepat di bidang teknologi, diikuti dengan pertumbuhan
ekonomi yang tidak kalah cepatnya akan berdampak pada aspek kultural dan
nilai-nilai suatu bangsa. Tekanan, kompetisi yang tajam di pelbagai aspek
kehidupan sebagai konsekuensi globalisasi, akan melahirkan generasi yang
disiplin, tekun dan pekerja keras. Namun, di sisi lain, kompetisi yang ketat
pada era globalisasi akan juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami
kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang bermental "instant".
Dengan kata lain, kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi,
khususnya pada dua dasawarsa terakhir ini, telah mengakibatkan kemerosotan
moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar.
Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan
berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat
menjadi "kaya dalam materi tetapi rmskin dalam rohani".
Di dunia pendidikan, globalisasi akan mendatangkan kemajuan yang sangat
cepat, yakni munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber
ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Hasilnya, para siswa bisa menguasai
pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, tidak mengherankan
pada era globalisasi ini, wibawa guru khususnya dan orang tua pada umumnya di
mata siswa merosot. Kemerosotan wibawa orang tua dan guru dikombinasikan dengan
semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti
gotong royong dan tolong-menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan
sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat
lanjut bisa dilihat bersama, kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja
dan pelajar semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian,
corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.
Di sisi lain, pengaruh-pengaruh pendidikan yang mengembangkan kemampuan
untuk mengendalikan diri, kesabaran, rasa tanggung jawab, solidaritas sosial,
memelihara lingkungan baik sosial maupun fisik, hormat kepada orang tua, dan
rasa keberagamaan yang dijudkan dalam kehidupan bermasyarakat, justru semakin
melemah. Para pendidik, khususnya para guru, lebih khusus lagi para pendidik
dan guru yang berkecimpung pada sekolah keagamaan atau sekolah yang dikelola
oleh Organisasi Keagamaan, harus mengambil perhatian masalah ini dan mencari
cara-cara pemecahannya.
2.4. Globalisasi dan Tuntutan Peningkatan
Kualitas Guru
Globalisasi merupakan suatu keniscayaan bagi semua bangsa. Bangsa Indonesia
sudah mulai merasakan bagaimana manis dan pahitnya terbawa arus globalisasi.
Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto tidak lepas dari
berkah reformasi. Sebaliknya, merebaknya kejahatan dan pornografi, misalnya,
tidak dapat dilepaskan dari rasa pahit globalisasi. Globalisasi akan membawa
perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan, termasuk bidang
teknologi, ekonomi dan sosial politik.
A. Kecenderungan perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi pada akhir abad XX ini berlangsung sangat cepat,
terutama bertumpu pada tiga bidang: bio-teknologi, material science
atau teknologi bahan dan teknologi Elektronika dan Komputer. Perkembangan
bio-teknologi telah mempengaruhi berbagai jenis produk, seperti bidang
kesehatan dan obat-obatan dan bahan makan. Temuan-temuan bio-teknologi akan
menghasilkan berbagai produk sinthesis. Di bidang ilmu bahan, telah
memungkinkan diciptakannya berbagai bahan konstruksi yang tidak perlu merusak
lingkungan, karena bukan barang tambang. Temuan yang akan memiliki dampak tidak
kalah pentingnya adalah di bidang elektronika. Temuan di bidang ini melahirkan
berbagai produk teknologi komunikasi, robot, dan laser.
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi memungkinkan transaksi business
lewat kaca komputer, sedangkan pengembangan robot memungkinkan lahirnya tenaga
kerja robot untuk dunia industri. Kecermatan dan disiplin kerja robot sudah
barang tentu akan melebihi kemampuan tenaga kerja manusia. Perkembangan bidang
komputer telah memungkinkan dimanfaatkan dalam berbagai produk, seperti pilot
automatics pada pesawat terbang, menjadikan rancang bangun produk semakin
cepat dan cermat, memudahkan pelayanan jasa transportasi dan berbankan.
Temuan-temuan di produk laser menghasilkan kemajuan di bidang ilmu kedokteran. Berbagai operasi akan dapat
dilaksanakan dengan memanfaatkan sinar laser. Perkembangan laser juga merupakan
fondasi untuk perkembangan teknologi komunikasi lebih lanjut.
Temuan-temuan bidang teknologi akan terus berkembang karena adanya sifat
saling mengkait antara temuan satu dengan temuan yang lain. Temuan di bidang
bio-teknologi dikombinasikan dengan bidang material science akan mampu
menghasilkan "bahan yang canggih". Bahan ini dikembangkan pada level "moleculer".
Hasilnya, produk bahan baru ini akan
lebih ringan, lebih kecil, lebih kuat dan lebih fleksibel, sehingga dapat
digunakan sebagaimana yang diinginkan. Kombinasi ternuan bio-teknologi dan material
science juga akan mempercepat perkembangan bidang komputer, dengan
diketemukannya, produk sumber padat energi tinggi. Produksi-produksi
elektronika memerlukan energi. Tanpa diketemukan produk sumber energi,
pekembangan produk elekttronika akan terhambat. Sebaliknya, ternuan produk
sumber energi yang lebih padat dan lebih tinggi kekuatannya, maka perkembangan
produksi elektronika akan semakin meningkat. Temuan chip komputer akan
memungkinkan seseorang membawa komputer dalam saku bajunya. Komputer tersebut
sangat interaktif dan wireless. Multi fungsi terdapat dalam komputer,
sebagai alat telepon, fax dan penyimpan data. Di samping itu, perkembangan
industri komputer akan melahirkan "Edutainment", yakni
pendidikan yang menjadi hiburan dan hiburan yang merupakan pendidikan. Dengan "Edutainment"
proses pendidikan akan semakin menarik dan menghasilkan lulusan yang semakin
berkualitas.
B. Kecenderungan
perkembangan bidang ekonomi.
Keberhasilan revolusi di bidang pertanian pada akhir abad XX telah mengurangi
ketergantungan bangsa-bangsa Asia akan bahan makan dari luar negeri dan bahkan
pada awal abad XXI ketergantungan tersebut akan dapat dihilangkan sama sekali.
Sudah barang tentu hai ini akan meningkatkan kemampuan ekonomi nasional,
khususnya neraca pembayaran.
Seiring dengan proses revolusi hijau, bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia
Timur dan Asia Tenggara telah memulai proses industrialisasi. Di penghujung
abad XX dan memasuki abad XXI, bangsa-bangsa di Asia sedang mempercepat
revolusi industri dalam jangka waktu 50 tahun yang di negaranegara Barat
revolusi ini berlangsung selama 200 tahun. Pada awal abad XXI enam dari sepuluh
besar negara-negara dengan GDP tertinggi akan diduduki oleh negara-negara di
Asia: China, Jepang, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand. Pertumbuhan
pesat yang mungkin dapat disebutsebagai keajaiban ataupun keanehan, disebabkan
oleh; a) kemampuan dalam mengelola sumber daya manusia, b) kerja keras
penduduknya, baik dari kalangan buruh, pengusaha, ataupun pejabat pemerintah,
c) orientasi achievement ekonomi di kalangan politikus, dan, d)
kemampuan memobilisasi investasi. Pada tahun-tahun mendatang, pertumbuhan
ekonomi di negara-negara Asia akan berlangsung sekitar 6 sampai dengan 10
persen per tahun, sebaliknya negara-negara lain hanya mampu tumbuh rata-rata
sekitar 2 persen. Kecenderungan pertumbuhan ini merupakan daya tarik bagi para
penanam modal asing. Sifat spiralitas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia tersebut di atas akan semakin tinggi.
Perkembangan bidang bio-teknologi akan berdampak pada
bidang ekonomi. Kemajuan teknologi akan meningkatkan kemampuan produktivitas
dunia industri baik dari aspek teknologi industri maupun pada aspek jenis
produksi. Investasi dan reinvestasi yang berlangsung secara besar-besaran yang
akan semakin meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak
perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting. Tanda-tanda
telah menunjukkan bahwa akan segera muncul teknologi bisnis yang memungkinkan
konsumen secara individual melakukan kontak langsung dengan pabrik sehingga
pelayanan dapat dilaksanakan secara langsung dan selera individu dapat
dipenuhi, dan yang lebih penting konsumen tidak perlu pergi ke toko. Namun, di
sisi lain kemajuan di bidang teknologi menyebabkan juga dunia industri tidak
memerlukan tenaga kerja sebanyak pada masa sebelumnya. Hasilnya, penyerapan
tenaga kerja tidak sebagaimana yang diharapkan.
Kecenderungan perkembangan teknologi dan ekonomi, akan berdampak pada
penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan.
Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan akan mengalami
perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan
yang menghasilkan tenaga kerja yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill
sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut.
C. Kecenderungan
perkembangan bidang sosial politik
Kemajuan di bidang teknologi yang diiringi dengan kemajuan di bidang
ekonomi memiliki dampak sosio-politik dan kultural masyarakat. Kemajuan
teknologi di bidang kedokteran dan kemajauan ekonomi mampu menjadikan produk
kedokteran menjadi komoditi, dan akan menyebabkan perubahan besar di bidang
demografi.
Angkatan kerja muda di Indonesia dan di negara-negara Asia pada urnumnya
mendominasi bagian penduduk. Mereka menguasai pengetahuan dan teknologi,
sehingga mampu mengoperasikan teknologi yang modern. Hal ini merupakan hasil
dari keberhasilan di bidang pendidikan yang dapat memberikan kesempatan
penduduk usia sekolah untuk mengikuti pendidikan formal. Angka partisipasi
pendidikan di kawasan Asia sangat tinggi. Di bidang kesehatan kemajuan yang
dicapai tidak kalah dengan bidang pendidikan. Perluasan fasilitas kesehatan
sudah sampai pelosok desa, sehingga tingkat kesehatan penduduk meningkat, di
samping angka pertumbuhan penduduk dan kematian bayi dan anak merosot tajam.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, angka kematian bayi di Indonesia
masih cukup tinggi. Tetapi, diramalkan pada awal abad XXI angka tersebut turun
dengan drastis. Dengan nutrisi dan kesehatan yang semakin baik, tenaga kerja
Indonesia akan semakin mampu bersaing di pasar internasional, mampu
memanfaatkan sistem ekonomi dan politik modern, dan menjadi tentara yang mampu
mengoperasionalkan persenjataan canggih.
Stabilitas politik telah dinikmati oleh sebagian besar negara-negara Asia,
khususnya di Asia Timur dan Tenggara, dan lebih khusus lagi di Indonesia.
Sistem pemerintahan di negara-negara sering disebut "soft authoritarian",
di mana hak-hak asasi, perumahan, makan, kesehatan, pendidikan, kesempatan
kerja dan jaminan keselamatan dapat dipenuhi, tetapi kebebasan politik
dibatasi. Memang, beberapa negara di Asia masih melaksanakan pemerintahan yang
bersifat otoriter, seperti Myanmar.
Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di kawasan ini akan mendorong munculnya
kelas menengah baru. Kemampuan, keterampilan serta gaya hidup mereka sudah tidak
banyak berbeda dengan kelas menengah di negara-negera Barat. Dapat diramalkan,
kelas menengah baru ini akan menjadi pelopor untuk menuntut kebebasan politik
dan kebebasan berpendapat yang lebih besar.
Perubahan politik di negara-negara Asia, ditunjukkan oleh adanya proses
regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan generasi pertama negara-negara Asia
modern, seperti Sukarno dan Nehru, sudah diganti dengan generasi kedua atau
bahkan generasi ketiga. Seperti di Jepang dari generasi Yoshida, sudah diganti dengan
generasi kedua, Kiichi Miyazawa dan generasi ketiga Ryutaro Hashimoto. Demikian
pula, Korea Selatan, dari generasi pertama, Syngman Rhee telah diganti genersi
kedua, Chun Doo Hwan dan diganti generasi ketiga Kim Yung Sam. Sudah barang
tentu peralihan generasi kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan
substtansi politik yang diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin
kental.
Di bidang politik internasional, juga terdapat kecenderungan tumbuh
berkembangnya regionalisme. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi telah
menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah dengan kemajuan di bidang
teknologi transportasi telah menyebabkan meningkatnya kesadaran tersebut.
Kesadaran itu akan terujud dalam bidang kerjasama ekonomi, sehingga regionalisme
akan melahirkan kekuatan ekonomi baru.
D. Kecenderungan perkembangan bidang
kultural
Secara umum, abad XXI akan ditandai dengan munculnya kekuatan ras dan
budaya baru. Bangsa-bangsa Asia tidak lagi sebagai warga yang harus taat pada
hukum internasional Barat yang didominasi oleh tradisi Judeo-Christian, tetapi
mereka juga menuntut untuk ikut menyusun hukum itu, yang dijiwai oleh Hindu,
Budha, confusianisme dan Islam. Kedua tradisi tersebut, Barat dan Asia, di
samping persamaan juga memiliki perbedaan yang tajam. Tradisi Barat lebih
bersifat logis dan analitis, sedangkan tradisi Asia lebih bersifat intuitif dan
seringkali emosional. Tradisi Barat menekankan hak-hak, sedangkan tradisi Asia
lebih menekankan kewajiban. Tradisi
Barat lebih menekankan pada individu, di Asia menekankan masyarakat. Di
Barat keputusan diambil dengan voting, di Asia dengan musyawarah.
Kemajuan ekonomi di negara-negara Asia melahirkan
fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan
rasa percaya diri dan ketahanan diri
sebagai suatu bangsa akan
semakin kokoh. Bangsa-bangsa Barat tidak lagi dapat
melecehkan bangsa-bangsa Asia.
Kekuatan baru negara-negara Asia akan mematahkan dominasi Barat di dunia
intemasional. Malahan John Naisbitt dalam MegaTrend Asia, meramalkan
perkembangan yang terjadi di negara-negara Asia merupakan perkembangan yang
penting di dunia. Dampaknya tidak saja bagi bangsa Asia, tetapi juga bagi
seluruh penghuni planet ini. Proses modernisasi yang berlangsung di Asia akan
mempengaruhi perkembangan dunia pada abad XXI.
Perkembangan yang cepat di bidang teknologi, diikuti dengan pertumbuhan
ekonomi yang tidak kalah cepatnya akan berdampak pada aspek kultural dan
nilai-nilai suatu bangsa. Tekanan, kompetisi yang tajam di pelbagai aspek
kehidupan sebagai konsekuensi globalisasi, akan melahirkan generasi yang
disiplin, tekun dan pekerja keras. Namun, di sisi lain, kompetisi yang ketat
pada era globalisasi akan juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami
kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang bermental "instant".
Dengan kata lain, kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi,
khususnya pada dua dasawarsa terakhir ini, telah mengakibatkan kemerosotan
moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar.
Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan
berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat
menjadi "kaya dalam materi tetapi rmskin dalam rohani".
Di dunia pendidikan, globalisasi akan mendatangkan kemajuan yang sangat
cepat, yakni munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber
ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Hasilnya, para siswa bisa menguasai
pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, tidak mengherankan
pada era globalisasi ini, wibawa guru khususnya dan orang tua pada umumnya di
mata siswa merosot. Kemerosotan wibawa orang tua dan guru dikombinasikan dengan
semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti
gotong royong dan tolong-menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan
sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat
lanjut bisa dilihat bersama, kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja
dan pelajar semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian,
corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.
Di sisi lain, pengaruh-pengaruh pendidikan yang mengembangkan kemampuan
untuk mengendalikan diri, kesabaran, rasa tanggung jawab, solidaritas sosial,
memelihara lingkungan baik sosial maupun fisik, hormat kepada orang tua, dan
rasa keberagamaan yang dijudkan dalam kehidupan bermasyarakat, justru semakin
melemah. Para pendidik, khususnya para guru, lebih khusus lagi para pendidik
dan guru yang berkecimpung pada sekolah keagamaan atau sekolah yang dikelola
oleh Organisasi Keagamaan, harus mengambil perhatian masalah ini dan mencari
cara-cara pemecahannya.
2.5. Meningkatkan Kualitas Guru dalam
Proses Belajar Mengajar
A. Tantangan dunia pendidikan
Proses globalisasi merupakan keharusan sejarah yang tidak mungkin
dihindari, dengan segala berkah dan mudhoratnya. Bangsa dan negara akan dapat
memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki pendidikan yang berkualitas.
Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang
berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru
memegang peran yang penting. Guru adalah kreator proses belajar mengajar. la
adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji
apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam
batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan
berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan
guru atas perkembaagan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat
berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan
yang lebih baik.
Tugas utama guru adalah mengembangkan potensi siswa secara maksimal lewat
penyajian mata pelajaran. Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang dapat
disajikan secara jelas, memiliki nilai
dan karakteristik tertentu yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu,
pada hakekatnya setiap guru dalam menyampaikan suatu mata pelajaran harus
menyadari sepenuhnya bahwa seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula
mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu sendiri.
Materi pelajaran dan aplikasi nitai-nilai terkandung dalam mata pelajaran
tersebut senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Agar
guru senantiasa dapat menyesuaikan dan mengarahkan perkembangan, maka guru
harus memperbaharui dan meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara
terus menerus. Dengan kata lain, diperlukan adanya pembinaan yang sistematis
dan terencana bagi para guru.
B. Karakteristik kerja guru
Semua di antara kita sudah sangat akrab dengan guru, baik sering
berhubungan, membawahi ataupun jadi guru sendiri. Tetapi, berapa banyak di
antara kita yang pernah merenungkan sesungguhnya bagaimana kerja guru itu?
Pemahaman akan hakekat kerja guru ini sangat penting sebagai landasan dalam
mengembangkan program pembinaan dan pengembangan guru. Kalau direnungkan secara
mendalam, maka kita akan dapat menemukan beberapa karakteristik kerja guru,
antara lain:
1. Pekerjaan
guru adalah pekerjoan yang bersifat individualistis non colaboratif.
2. Pekerjaan
guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap
seluruh waktu.
3. Pekerjaan
guru adalah pekerjaan yang kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru
rendah.
4. Pekerjaan
guru tidak pernah mendapatkan umpan balik.
5. Pekerjaan
guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas.
Marilah kita bicarakan satu persatu karakteristik guru di atas.
Karakteristik pertama, pekerjaan guru bersifat individualistis non colaboratif,
memiliki arti bahwa guru dalam melaksanakan tugas-tugas pengajarannya memiliki
tanggung jawab secara individual, tidak mungkin dikaitkan dengan tanggung jawab
orang lain. Pekerjaan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dari
waktu ke waktu dihadapkan pada pengambilan keputusan dan melakukan tindakan.
Dalam pengambilan keputusan dan tindakan itu harus dilaksanakan oleh guru
secara mandiri. Sebagai contoh, di tengah proses belajar mengajar berlangsung
terdapat siswa yang tertidur sehingga siswa yang lain berisik. Guru harus
mengambil keputusan dan menentukan tindakan saat itu, dan
tidak mungkin meminta pertimbangan teman guru yang lain. Oleh karena
itulah, wawasan dan kecermatan sangat penting bagi seorang guru.
Karakteristik kedua, pekerjaan guru
adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap seluruh
waktu. Hal ini sudah diketahui bersama, bahwa hampir seluruh waktu guru
dihabiskan di ruang-ruang kelas bersama para siswanya. Implikasi dari hal ini
adalah bahwa keberhasilan kerja guru tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
akademik, tetapi juga oleh motivasi dan dedikasi guru untuk terus dapat hidup
dan menghidupkan suasana kelas.
Karakteristik ketiga, pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kemungkinan
terjadinya kontak akademis antar guru rendah. Bisa dicermati, setiap hari
berapa lama guru bisa berinteraksi dengan sejawat guru. Dalam interaksi ini apa
yang paling banyak dibicarakan. Banyak bukti menunjukkan bahwa interaksi
akademik antar guru sangat rendah. Kalau dokfer ketemu dokter yang paling
banyak dibicarakan adalah tentang penyakit, penemuan teknik baru dalam
pengobatan. Kalau insinyur ketemu insinyur, yang dibicarakan adalah adanya
teknik baru dalam membangun jembatan, penemuan untuk meningkatkan daya bangunan
air, dan sebagainya. Tetapi apabila guru ketemu guru, apa yang dibicarakan?
Rendahnya kontak akademik guru ini di samping dikarenakan soal waktu guru yang
habis diserap di ruang-ruang kelas, kemungkinan juga karena kejenuhan guru
berinteraksi akademik dengan para siswanya.
Karakteristik keempat, pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik.
Umpan balik adalah informasi baik berupa komentar ataupun kritik atas apa yang
telah dilakukan dalam melaksanakan proses belajar mengajar, yang diterima oleh
guru. Berdasarkan umpan balik inilah guru akan dapat memperbaiki dan
meningkatkan kualitas proses belajar mengajarnya. Muncul pertanyaan, kalau guru
tidak pernah mendapatkan umpan balik, bagaimana guru dapat memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pengajarannya?
Karakteristik kelima, pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu
kerja di ruang kelas. Waktu kerja guru tidak terbatas hanya di ruang-ruang
kelas saja. Dalam banyak hal, justru waktu guru untuk mempersiapkan proses
belajar mengajar di ruang kelas lebih lama. Berkaitan dengan padatnya waktu
guru itu, muncul pertanyaan kapankah guru dapat merenungkan melakukan refleksi
atas apa yang telah dilakukan bagi para siswanya?
Di samping karakteristik pekerjaan guru, karakteristik
disiplin ilmu pengetahuan sangat penting artinya untuk difahami, khususnya oleh
guru sendiri. Sebab, guru harus menjiwai disiplin ilmu yang harus diajarkan. Di
Amerika Serikat, misalnya, kalau ada konferensi guru-guru, orang akan segera
dapat membedakan guru berdasarkan disiplin ilmu yang diajarkan: mana guru
matematik dan mana guru ilmu sosial.
Namun realitas menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang
diharapkan. Berbagai usaha yang serius dan sungguh-sungguh serta terencana
harus secara terus menerus dilakukan dalam pengembangan kualitas guru.
Berdasarkan karakteristik kerja guru sebagaimana dikemukakan di atas,
berbagai cara pembinaan guru telah dilaksanakan. Teknik pembinaan yang telah
dikembangkan dan diterapkan adalah dengan sistem PKG. Di samping itu, telah
dikembangkan pula MGMP dan SKG. Untuk meningkatkan dan memperdalam penguasaan
materi telah dilaksanakan pula Kursus Pendalaman Materi (KPM), dan untuk dapat
mengikuti perkembangan teknologi telah dilatihkan pemanfaatan komputer dalam
pengajaran matematika.
2.6. Mempersiapkan Guru untuk Masa
Depan
Sungguhpun sudah begitu banyak upaya dan kegiatan untuk meningkatkan mutu
guru, hasil-hasil evaluasi tahap akhir siswa menunjukkan bahwa nilai mereka
belum mengalami kenaikan yang berarti. Kalau kita menggunakan pola pikir
linier:
Penataran Guru ---» Mutu Guru Meningkat ---» Kualitas
Kerja Guru Meningkat ---» Mutu Siswa Meningkat
Sudah barang tentu dapat disimpulkan bahwa penataran yang telah
dilaksanakan telah berhasil meningkatkan mutu guru, tetapi belum berhasil
meningkatkan mutu kerja guru, sehingga mutu siswa belum meningkat. Barangkali
dilihat dari semboyan PKG: Dari Guru-Oleh Guru-Untuk Guru, tujuan PKG sudah
dicapai. Mungkin semboyannya perlu diubah, menjadi: Dari Guru, Oleh Guru, Untuk
Guru dan Siswa. Mengapa mutu guru telah berhasil ditingkatkan tetapi kemampuan
kerja guru belum meningkat? Salah satu jawaban bisa kita kembalikan pada salah
satu karakteristik kerja guru, yakni guru adalah pekerjaan yang tidak pernah
mendapatkan umpan balik. Hal ini logis, karena tanpa umpan balik guru tidak
tahu kualitas apa yang dikerjakan, tidak tahu di mana kelemahan dan
kelebihannya, dan akibatnya guru tidak tahu mana yang perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu, nampaknya di samping meneruskan kegiatan pembinaan yang
telah ada selama ini, pembinaan guru diarahkan untuk mengembangkan suatu sistem
dan teknik bagi guru untuk bisa mendapatkan umpan balik dari apa yang
dikerjakan dalam proses belajar mengajar. Dua model peningkatan mutu yang perlu
dipertimbangkan adalah a) memperkuat hidden curriculum dan b)
mengembangkan teknik refleksi diri (seff-reffection).
A. Hidden curriculum
Hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai
dan sifat-sifat pada diri siswa. Proses ini dilaksanakan lewat perilaku guru
selama melaksanakan proses belajar mengajar. Untuk menanamkan sikap disiplin,
guru harus memberikan contoh bagaimana perilaku mengajar yang disiplin.
Misalnya, memulai dan mengakhiri pelajaran tepat pada waktunya. Kalau guru
bertujuan menanamkan kerja keras pada diri siswa, maka guru memberikan
tugas-tugas yang memadai bagi siswa dan segera diperiksa dan dikembalikan
kepada siswa dengan umpan balik. Pengembalian tugas-tugas siswa tanpa ada umpan
balik pada kertas pekerjaan secara langsung akan menanamkan sifat tidak usah
kerja keras. Karena siswa beranggapan kerja mereka tidak dibaca guru.
Kegiatan pembinaan yang diperlukan adalah:
1. Mengkaji secara
lebih mendalam makna hidden
curriculum.
2. Secara sadar
merancang pelaksanaan hidden curriculum.
3. Mengidentifikasi
momen untuk melaksanakan hidden curriculum.
B. Self-reflection
Self-reflection adalah suatu kegiatan untuk mengevaluasi proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan untuk mendapatkan umpan balik dari apa yang
telah dilakukan. Umpan balik tersebut antara lain berupa: a) pemahaman siswa
tentang apa yang telah disampaikan, b) perilaku guru yang tidak efisien dan
tidak efektif, c) perilaku guru yang efisien dan efektif, d) perilaku yang
perlu diperbaiki, e) perilaku yang diinginkan oleh siswa dan, f) perilaku yang
seharusnya dikerjakan. Berdasarkan self-reflection inilah guru akan memperbaiki
perilaku dalam proses belajar mengajar.
Paling tidak ada dua cara bagi guru untuk melakukan self-reflection, yakni:
a) guru menampung pendapat siswa pada setiap akhir kuartal dan, b) guru
malaksanakan action research. Cara yang pertama dilakukan lewat cara guru
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap bagaimana perilaku selama
mengajar, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh
siswa. Berdasarkan jawaban tersebut guru akan mendapatkan gambaran diri pada
waktu melaksanakan proses belajar mengajar.
Action research, sebagai cara kedua, merupakan kegiatan meneliti sambil
mengajar atau mengajar yang diteliti. Siapa yang mengajar dan siapa yang
meneliti? Guru sendiri yang melakukan keduanya datam waktu yang sama.
BAB III
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
3.1. Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang
berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam
kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya
untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar
sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara
ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar
sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya
relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga
dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan
Tertulis.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka
sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation",
suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya
tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai
dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam
berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami,
sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan
giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan
hidup masyarakat yang bersangkutan.
A. Praktek pendidikan modern
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan:
praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman
VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan
pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek
pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa
praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek
pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan
sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai
sekarang ini.
Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan
praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja".
Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak
pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak
dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi
kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni,
menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam
mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan
pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya
barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman
Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa
yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat
(Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang
akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia
pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat
pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan
bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa
Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah
Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada
budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan
warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap
sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas
penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics",
bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan,
baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa
ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya
membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga
menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Hal ini sangat terasa terutama
pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai
tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda.
Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika
semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan
bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh
karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan
pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan
dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan
tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek
pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna
kepentingan pembangunan ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika
berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat
bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong
pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses
pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses
pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses
pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya
pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai
individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian
kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan
juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya,
keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk
kliping koran.
Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang
semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan.
Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak"
dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh
di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan
komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan
resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.
Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan
organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan
sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang
bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus
didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang
kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya
yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan
desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan
sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah
kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai
efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses
pendidikan?"
Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di
puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada
aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai
sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah
meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan
sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem
pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena
itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah
desentralisasi yang mendasar.
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi.
Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu
peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan
untuk pelaksanaan proses pendidikan.
Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan
yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan
cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik,
individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis
dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan
yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses
"Amerikanisasi" ini.
Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang
dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya
mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa
mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun
generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala
sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu
yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan
generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh,
di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa
luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada
label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi".
Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang
berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain
yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai
ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya
generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang
harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh
karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya
merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena
itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk
mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai
lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan
"manusia yang utuh" (the whole person). Konsep
tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati
prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja.
Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.
Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di
kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan
jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan
pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.
B. Pendidikan dan kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan
jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik
dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan
generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek
pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang
kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu,
perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu.
Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa
mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat
dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral
Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek
pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin
yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan
yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu
membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan
penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima
bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat
kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan
pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan
dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong
kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi
budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan
orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan
serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.
C. Penelitian pendidikan yang diperlukan
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan
di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya
merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih
jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian
pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah
ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an
bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya
daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan.
Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah
nilai yang mendukung keadilan sosial.
Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan
proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya,
nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di
satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang
tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap
perkembangan anak didik?
Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah
dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep
"bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna
kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan
pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki
untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem
persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri
hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya,
sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang
menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk
miskin dapat menikmati pendidikan?
Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan
terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan
tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya?
Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan
tersebut?
Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat
pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah
dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?
Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian
Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan
masyarakat luas.
3.2. Pendidikan
Berwawasan Global
Krisis demi krisis mulai dari moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan
yang tengah melanda bangsa Indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita
sudah terseret dalam arus globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat
sehingga menimbulkan dampak yang berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat
menjadi mode, misalnya.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak
mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global
ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam
proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih
komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara
efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan
harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor
yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan
kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan
pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita
bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila
kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana
dikemukakan oleh Psikolog
Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A
Psychology for the Third Millenium, 1993, yang
menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an
understanding of the complexities of an
increasingly complex and interdependent world".
A. Perspektif kurikuler
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif:
Kurikuler dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler,
pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan
untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan
meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan
dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri: a) mempelajari budaya,
sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya
saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk
dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c) mengembangkan
berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna
mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan
materi yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat
dunia, b) adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c)
adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang
lain, d) adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai
keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang
jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak
mustahil menimbulkan konflik-konflik.
Berdasarkan perspektif kurikuler ini,pengembangan pendidikan berwawasan
global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata
pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik
melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih
ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan
transdisipliner.
B. Perspektif reformasi
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan
suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan
kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang
bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar
bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang
berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat
global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana
masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut
perspektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga
merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan
dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan
global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan
sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada
mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat
terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme
pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan
menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba
seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu
Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan
dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual.
Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci.
Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik,
dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat
sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat
interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap
interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang
ada.
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses
learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki
motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning.
Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak
ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi
satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment.
Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu
sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil.
Secara paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang.
Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif
demokrasi tidak akan memiliki makna.
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan
yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti
menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan
transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global
menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan
suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang
mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki
kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.
3.3. Tantangan Pengembangan Sekolah di
Masa Depan
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya
negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam
proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian merupakan
penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan di
dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala strata
dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek
non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang
diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan
teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan
kepercayaan bahwa diri mereka
mempunyai kemampuan (self efficacy)
untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di
dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan
ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran
pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (dvelopped
countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga
mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu
akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai
tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka
pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan
tenaga diarahkan unuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor
pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan
mengirim tenaga domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil
angka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio
naik, education achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan di kalangan masyarakat,
pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda
"lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi
muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat
pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar
pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat
sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya
pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan
menjadi "pengikut proses kemajuan". Mulailah para ahli, khususnya di
bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka
impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di
dunia sedang berkembang?
Persoalan-persoalan pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia, secara mendasar berbeda dengan
problema yang ada di negara-negara Barat. Persoalan pendidikan di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan falsafah dan budaya bangsa. Winarno Surachmad
(1986) memperingatkan "... bahwa ilmu kependidikan yang tidak lahir dan
tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak akan pernah mampu melahirkan
potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi ini". (h.5). Barangkali,
pendapat tersebut sangat ekstrim, namun tuntutan bahwa ilmu kependidikan yang
akan digunakan untuk memecahkan problema di suatu negara hendaknya tidak lepas
dari kondisi budaya setempat memang perlu untuk mendapatkan perhatian dari
semua pihak, khususnya dari para perencana dan pengambil keputusan di bidang
kebijaksanaan pendidikan. Teori-teori Barat tentang pendidikan dan pembangunan
tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa dan watak bangsa harus menjiwai
sistem pendidikan itu sendiri.
A. Perkembangan dan problem pendidikan
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor
pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan
prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada
asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil
dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik,
khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada tingkatyang luar biasa.
Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket dicetak, training
dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya
secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan.
Namun, dibalik angka-angka di atas, dunia pendidikan di Indonesia masih
menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal
in-efficiency, b) external in-efficiency, dan c)
ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency
dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs
dan angka repeaters (ulang kelas yang sama). Sedangkan external in-efficiency
berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja
ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan
pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya
perbedaan memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara
penduduk kota dan penduduk desa dan antara kaya dan miskin.
External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah
bisa dipisahkan dengan sektor yang lain, khususnya sektor ekonomi dan politik.
Sebagaimana telah disinggung di atas modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih
cepat dari pada modernisasi di bidang pendidikan. Perubahan-perubahan bidang
ekonomi dan teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia
pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum
pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena adanya suatu perubahan di
sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat luas dan besar pada kehidupan
masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat,
sistem dan kurikulum pendidikan dikembangkan dan didasarkan pada keadaan
masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun
pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak
mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat. Akibat dari
ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang,
pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh
sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning
semakin merosot karena tidak bisa merencanakan demand dan supply
tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat
pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi.
Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan.
Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut sex, tempat tinggal, dan terutama
menurut status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan
menjembatani jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat
sudah banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan
bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan
memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri
terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977).
Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota,
sudah mulai dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah
dilaksanakan, tidak demikian dengan ketidakmerataan pendidikan di antara
penduduk miskin dan kaya. Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara
kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan
kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan
status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh
sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga
yang relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah
kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi
kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari
keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai.
B. Pengalaman dan tantangan
Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan telah
mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk terus
menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung
dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas: internal in-efficiency,
external in-efficiency, dan ketidakmerataan pendapatan. Secara
tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya, perubahan
struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional
delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of
development yang canggih.
Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang
mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah
dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan
pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang mendasar.
Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru dengan isi
yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang
ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk
sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka
menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan
karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan
yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic perspective",
artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan
daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu
pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah
berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan
bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan
sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan
perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang
dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang
dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure
evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan
kurikulum sekolah pembangunan.
Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan
merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti
dan mempertanyakan secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada
pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang
akan dilaksanakan itu akan dapat diperhitungkan kemungkinan implementasinya.
Sebab pada hakekatnya pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What
is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus
cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat
diambil sebagai contoh pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum
1984, hampir pada semua pokok bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa
aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil
menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahun-tahun 1960-an.
Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan
lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic
motivation dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri
siswa (Bruner, 1961). Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan
persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda
CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu formal dan
fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid
sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu,
menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat
toleransi.
Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas
dan siswa-siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di
Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal.
Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh karena itu mereka tidak berani
membicarakan apa yang di luar silabi. Karena membicarakan di luar silabi memang
di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung untuk mendengarkan,
menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh
guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu
dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir
dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama
kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas
secara riil.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis,
sebab merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun,
pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud
pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi. Perencanaan
dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan
pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan
kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha
pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan
memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses
pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan
seharusnya menjadikan guru sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai
penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang cenderung menjadikan guru
sebagai objek dan sekedar penerima pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi,
cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan
(1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan tergantung pada apa yang
difikir dan dilakukan guru.
Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di
negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan
mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan
guru. Di samping aspek kurikulum dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek
lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah merupakan "a mini society".
Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat
dimana sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada
dasarnya terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang
mengikat para anggotanya, baik anak didik maupun guru. Ada norma-norma dalam
pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi antara sesamanya baik secara
individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik nampak maupun
tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar
tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.
Dalam proses "transfer of culture", termasuk
di dalamnya proses pembentukan kepribadian, sikap, rasa dan juga
intelektualitas, aspek sekolah sebagai "a mini society"
sangat penting artinya. Model sekolah Muhammadiyah dengan memadukan antara
Masjid dan gedung sekolah, merupakan bentuk pengakuan pentingnya aspek sekolah
sebagai masyarakat kecil tersebut.
Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan dengan sekolah
sebagai masyarakat kecil ini. Pertama, sekolah tempat melatih dan mempersiapkan
anak didik untuk terjun pada kehidupan mereka di masa mendatang. Kedua, sekolah
merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri, bukannya tempat mempersiapkan
anak didik. "School is not preparation for life, but life
it self" (Dewey, 1944).
Implikasi praktis dari teori pertama, anak didik dalam proses pendidikan
diberlakukan sebagai objek pendidikan. Mereka merupakan objek yang tengah
digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi kehidupan di kemudian hari. Mereka
bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada ini. Sayangnya, kemajuan yang pesat
di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang berlangsung
di masyarakat sangat cepat dan sulit itu bisa diramalkan dengan tepat
(lihatToffler, 1974, 1981). Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana
mempersiapkan anak didik untuk mengarungi kehidupan di kemudian hari itu
sendiri tidak bisa diprediksi?
Teori kedua, menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian rupa
sehingga betul-betul merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasi
dari teori ini adalah anak didik merupakan subjek dari proses pendidikan.
Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat kecil tersebut merupakan dasar dan
sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling penting dalam proses
pendidikan bukanlah terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan pada
aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri. Peran guru menurut
falsafah ini lebih banyak bersifat tut wuri handayani; memberikan dorongan dan
motivasi agar para anak didik mampu memperluas kemampuan pandang, unluk
mengembangkan berbagai altematif dan pengambilan keputusan dalam aktifitas
kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembangkan apa yang
dipelajari dalam proses kehidupan itu. Namun, perlu difahami pula, bahwa dengan
menjadikan anak didik sebagai subjek dalam proses pendidikan tidak berarti
sekolah bersifat "value free". Tetap saja, sekolah
lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values, tetapi dengan cara "value-fair".
Artinya dalam usaha menanamkan nilai-nilai, guru tidak akan memaksakan sesuatu
nilai tertentu kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha
dengan berbagai cara atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan
membenarkan dan menerima nilai-nilai yang ia ajarkan, anak didik sendirilah
yang menemukan dan mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untuk
ditanamkan pada anak didiknya.
Banyak keberatan dari para ahli atas bentuk sekolah berdasarkan teori yang
pertama. Keberatan yang terpenting adalah dengan menjadikan anak didik sebagai
objek berarti pendidikan merupakan tindakan "mencomot" anak didik
dari lingkungannya sendiri untuk dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang
belum tentu sesuai atau malahan asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu
bernama sekolah. Kalau anak didik tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai
objek, anak didik tidak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit,
kalau apa yang dilihat, diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini
society" ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang
ia lihat, terima dan hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat.
Akibat dari keadaan ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang
mengikuti pelajaran di sekolah dengan setengah hati.
Di fihak lain, lebih banyak para ahli yang keberatan dengan teori kedua.
Keberatan pokoknya adalah berkisar pada kekhawatiran pendidikan akan menjadi
proses yang tanpa arah dan "anarkis".
Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita di masa mendatang
harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a mini society"
ini. Pembaharuan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori
pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana pembaharuan pendidikan
bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan
variasi interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah
sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan.
Ada tiga hal yang telah dikemukakan dalam pembahasan tentang pembaharuan
pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah sebagai "a mini society".
Pengembangan sekolah di masa depan di mana perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat sangat cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut tidak
bisa ditinggalkan.
C. Sekolah
Dasar di masyarakat yang berubah dengan cepat
Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat vital
dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan pendidikan di
tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Sebaliknya,
keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan keberhasilan
pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai fihak justeru menempatkan
pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat pendidikan yang lain, terbukti
antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji guru sekolah dasar yang berbeda
dengan sekolah lanjutan.
Usaha-usaha meningkatkan kualitas sekolah dasar sudah sangat mendesak.
Tanpa ada peningkatan kualitas sekolah dasar yang mendasar, usaha-usaha
peningkatan kualitas sekolah lanjutan menengah pertama dan atas tidak akan
berhasil dengan maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi yang ada menunjukkan
bahwa secara kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar sudah memadai. Pada
tahun 1986, sudah lebih dari 94% anak
umur sekolah dasar (umur 7 - 12) telah tertampung di sekolah-sekolah. Malahan
sebagai hasil dari program pengendalian penduduk, pertambahan murid sekolah
dasar kelas satu sudah mulai menurun. Untuk tahun-tahun mendatang ini,
gejala-gejala menurunnya murid kelas satu akan semakin nampak jelas terasa.
Oleh karena itu, problema sekolah dasar akan bergeser dari bagaimana
menyediakan fasilitas bergerak kepada bagaimana mengorganisir sekolah dasar
yang semakin kecil tetapi bisa semakin berkualitas. Bagi sekolah negeri barangkali
problema ini tidak begitu terasa, tetapi bagi swasta yang terjadi adalah
sebaliknya.
Dalam hubungan dengan usaha peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby
(1983) mengidentifikasi dua bentuk usaha peningkatan kualitas sekolah. Bentuk
pertama, peningkatan kualitas sistem dan manajemen sekolah. Hal ini berhubungan
dengan "the flow of students". Kedua,
peningkatan kualitas berkenaan dengan proses belajar-mengajar di ruang-ruang
kelas.
Usaha peningkatan kualitas yang berhubungan "the flow of
students" pada dasarnya bertujuan untuk menghilangkan pemborosan
sebagai akibat internal in-efficiency in education.
Kebijaksanaan apa yang dapat dikembangkan sehingga tingkat anak didik mengulang
kelas dan putus sekolah bisa ditekan, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Wajib
Belajar Pendidikan Dasar, untuk anak umur 7-15 tahun dan pembebasan uang SPP
merupakan kebijaksanaan yang penting dan tepat untuk mengurangi tingkat putus
sekolah ini.
Untuk menghilangkan "repeaters" nampaknya lebih sulit.
Apalagi informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang kelas ini sangat sedikit.
Salah satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas adalah dengan menetapkan
"automatic class promotion system". Dengan sistem ini
anak didik setiap tahun secara otomatis akan naik kelas. Sehingga nanti umur
anak didik akan menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu kebijaksanaan ini
harus diiringi dengan kebijaksanaan "remedial programs".
Anak didik yang tidak bisa mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti
pelajaran tambahan. Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil,
mengingat jumlah murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru
berlebihan. Dengan semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa
mengenal dengan tepat perkembangan anak didik.
Dalam peningkatan mutu SD, masalah kurikulum, kualitas
guru dan lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian. Pada level nasional,
pengembangan kurikulum merupakan proses politik, administrasi dan birokrasi,
serta sekaligus proses profesionalisme. Proses ini mengandung negosiasi antara
harapan-harapan dan sumber-sumber yang tersedia. Apabila dalam proses
pengembangan kurikulum ini masalah-masalah yang riil ada di kelas
diperhitungkan maka kurikulum akan memberikan sumbangan yang besar pada
peningkatan kualitas sekolah. Dua hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan
kemampuan guru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu yang lalu melontarkan ide
perlunya warna lokal pada kurikulum pendidikan kita. Ide tersebut sangatlah
tepat dan perlu untuk mendapatkan support dan partisipasi dari para
pendidik. Kebhinekaan masyarakat kita yang tercermin dalam banyak aspek
kehidupan: lingkungan fisik, sosial dan budaya, perlu untuk diperhitungkan
dalam pengembangan kurikulum. Realitas kebhinekaan ini, merupakan dasar yang
logis untuk mengembangkan kurikulum nasional yang berwarna lokal. Kurikulum
yang "murni bersifat nasional" sulit untuk bisa diterima. Kurikulum
yang demikian itu akan menghasilkan keterasingan pada sementara anak didik,
sebab apa yang dipelajari di sekolah tidak relevan dengan lingkungan
sekelilingnya.
Proses pengembangan kurikulum berwarna lokal dalam kurikulum nasional
hendaknya lebih banyak menarik partisipasi para pendidik. Kalau di tingkat
nasional pengembangan kurikulum lebih banyak dilakukan oleh para
"perencana dan administrator pendidikan", maka pengembangan kurikulum
lokal seyogyanya lebih banyak ditentukan oleh pendidik sendiri.
Selain isi kurikulum (intended curriculum) maka sistem
pengajaran (the instructionat delivery system)
perlu untuk mendapat perhatian. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar diarahkan
untuk mengembangkan kreatifitas, kecintaan dan loyalitas pada tanah air, dan critical
thinking pada diri anak didik. Untuk mencapai tujuan ini maka model Student
Active Learning adalah merupakan metoda yang paling tepat. Kemampuan
para guru sekolah dasar perlu untuk ditingkatkan. Usaha-usaha peningkatan
kualitas guru sekolah dasar ini harus mendasarkan pada kemampuan guru yang ada
sekarang ini untuk diarahkan pada kemampuan yang diinginkan. Untuk ini perlu
ada kegiatan "need of assessment" sehingga berdasarkan kegiatan itu
bisa disusun "peta kualitas guru". Hal ini menghindarkan adanya "in
service training" yang tidak tepat. Langkah yang lebih
mendasar, adalah meningkatkan kualitas guru secara formal.
Usaha peningkatan kualitas guru perlu pula dilakukan secara formal. Dalam
arti pensyaratan untuk menjadi guru sekolah dasar tidak cukup lulusan SPG,
melainkan perlu ditingkatkan menjadi lulusan perguruan tinggi. Hal ini sudah
saatnya, mengingat tenaga guru sekolah dasar sudah lebih dari cukup. Di samping
itu untuk melaksanakan pengembangan sekolah dasar di masa depan memang
memerlukan tenaga guru yang memiliki kualifikasi lebih tinggi. Untuk menghadapi
pembaharuan-pembaharuan pendidikan di masa mendatang dan menanggapi
perubahan-perubahan di masyarakat yang sangat cepat itu, kualifikasi guru SD
tamatan SPG sangat diragukan kemampuannya. Diharapkan pula dengan persamaan
kualifikasi untuk menjadi guru sekolah dasar dan guru sekolah lanjutan, di masa
mendatang perbedaan "derajat" antara kedua tingkat pendidikan itu
juga akan hilang. Labih daripada itu, adanya integrasi lembaga pendidikan dalam
satu institusi akan menguntungkan dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum
pendidikan calon guru secara integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum
untuk "in-service training".
Usaha-usaha pengembangan kreatifitas anak didik dan kecintaannya pada tanah
air dapat dilaksanakan pula lewat proses interaksi yang terjadi di sekolah.
Sebagaimana yang telah disinggung di depan, sekolah adalah merupakan "a
mini society". Guru harus bisa memanipulasi aktifitas dan interaksi
anak didik untuk mengembangkan kreatifitas anak dan kecintaan pada tanah air.
Misalnya, bagaimana guru bisa memberikan kesempatan pada anak didik untuk
menentukan kegiatan olah raga yang akan dilaksanakan, apa yang harus dilakukan
pada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, membuat peraturan-peraturan
di kelas ataupun di luar
kelas.
Hasil pendidikan di sekolah dasar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Penelitian-penelitian yang dilakukan baik di negara Barat maupun di negara kita
membuktikan statement di atas (lihat Sudarsono, 1984; Johnstone & Jiyono,
1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek dari lingkungan keluarga yang berpengaruh
terhadap hasil pendidikan sekoiah dasar. Pertama, pola perilaku anak dan orang
tua; kedua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam belajar; ketiga, diskusi
antara orang tua dan anak; dan, keempat, penggunaan bahasa di rumah, dan
aspirasi pendidikan orang tua.
Anak dari kalangan keluarga di mana ada struktur kegiatan memiliki prestasi
yang lebih baik dari pada anak yang datang dari kalangan keluarga yang tidak
mempunyai struktur kegiatan. Memiliki struktur kegiatan berarti dalam keluarga
tersebut ada jadwal kegiatan dan tanggung jawab anak secara jelas. Kapan waktu
belajar, waktu bermain, waktu membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah
tangga. Waktu-waktu tersebut harus ditepati. Pelanggaran yang dilakukan akan
dapat mengakibatkan tidak dapat melihatTV, misalnya.
Bantuan dan petunjuk orang tua bagi anak dalam kegiatan-kegiatan belajar
sangat diperlukan. Anak yang datang dari keluarga di mana orang tuanya membantu
dan memberikan petunjuk belajar mempunyai prestasi yang lebih baik daripada
anak yang datang dari keluarga yang tidak mau tahu tentang kegiatan belajar
anaknya. Sekolah bagi anak bukanlah merupakan kegiatan yang gampang. Orang tua
perlu memberikan support dan dorongan agar anak bisa tetap pada interes dan
kesenangan dalam belajar. Anak akan sering menghadapi kesulitan dalam satu mata
pelajaran tertentu atau lebih. Kesulitan-kesulitan akan menyebabkan anak patah
semangat untuk belajar dan tidak jarang menyebabkan anak mempunyai "self-concept"
yang jelek. Usaha-usaha membesarkan hati manakala anak menghadapi kesulitan dan
memberikan pujian manakala anak mendapatkan prestasi yang baik sangat
diperlukan bagi anak-anak sekolah dasar.
Kegiatan belajar anak pada hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah
atau di ruang-ruang kelas. Di luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang
tua bisa menggunakan kesempatan kumpul sebagai media bagi anak untuk belajar.
Anak-anak yang datang dari keluarga di mana sering melakukan diskusi antara
anggota keluarga menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak yang di
rumah tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua atau saudaranya.
Prestasi anak yang datang dari keluarga di mana komunikasi sehari-harinya
menggunakan bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan di sekolah) lebih tinggi
daripada prestasi anak yang di rumah tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indoensia di rumah akan memperkaya kemampuan bahasa anak.
Secara langsung anak mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia di rumah.
Keluarga merupakan tempat di mana anak bisa mendapatkan motivasi untuk
belajar dan mengembangkan harapan-harapan pendidikan dan gaya hidup di masa
depan. Orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengembangkan
motivasi dan aspirasi pendidikan anak. Orang tua seyogyanya mempunyai informasi
yang jelas tentang aktifitas anak di sekolah, mata pelajaran apa yang membuat
anak senang dan tidak senang, di mana kelebihan dan kekurangan anak dalam
belajar. Orang tua di samping memberikan support seyogyanya juga
memberikan standar yang harus dicapai oleh anak. Anak-anak yang datang dari
keluarga di mana orang tua mengembangkan motivasi dan aspirasi belajar anak,
memiliki prestasi yang lebih tinggi dari pada anak yang datang dari keluarga di
mana orang tua tidak pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan
anaknya.
Melihat hasil-hasil penelitian di atas, maka usaha peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah dasar, khususnya, bisa dipisahkan dari lingkungan
keluarga. Orang tua tidak bisa menyerahkan secara 100% agar anaknya dididik di
sekolah. Perlu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam usaha
meningkatkan kualitas sekolah. Orang tua perlu mendapatkan informasi apa yang
harus dilakukan di rumah untuk menunjang keberhasilan anak di sekolah. Hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan di Indoensia bisa dijadikan bahan untuk
diinformasikan kepada orang tua. Problemanya, siapa yang harus melakukan?
Sekolah-sekolah mempunyai lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan
(BP3). Sampai saat ini lembaga tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal,
baru terbatas untuk menghubungkan dana pembangunan gedung. Sesungguhnya BP3 ini
bisa ditingkatkan peranannya, dari pengumpul uang pembangunan gedung menjadi
pemegang peran mempertemukan apa yang terjadi di sekolah dan apa yang
seyogyanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di rumah, dalam kaitannya
dengan proses belajar anak di sekolah.
Dengan kata, lain untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar
perlu ada kerjasama yang erat antara orang tua dan guru, antara sekolah dan
rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di sekolah, sebaliknya guru bisa
memberikan pengarahan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua terhadap
anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak di sekolah.
D. Peranan IKIP
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, IKIP sebagai lembaga pencetak guru
mempunyai posisi strategis. Di samping berfungsi mencetak guru, IKIP dituntut
untuk bisa melakukan penelitian-penelitian yang bisa mendukung usaha-usaha
pembaharuan.
Ide-ide baru diharapkan muncul di lembaga pendidikan guru ini. Tugas yang
tidak kalah pentingnya lagi adalah menyediakan tempat bagi "'in-service
training". Dalam kaitan dengan pengembangan sekolah di masa depan,
IKIP seyogyanya memberikan perhatian kepada usaha-usaha peningkatan kualitas
guru sekolah dasar.
Semenjak Pelita I pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang
pesat. Namun demikian, masih banyak problema yang harus dipecahkan. Salah
satunya adalah bagaimana dapat mengembangkan sekolah yang mampu menghadapi
perubahan-perubahan di masyarakat yang berlangsung dengan cepat. Untuk itu,
pembaharuan pendidikan yang mendasar perlu untuk dilaksanakan. Strategi yang
paling tepat, adalah melaksanakan pembaharuan di bidang kurikulum, peningkatan kualitas
guru dan menggunakan sekolah sebagai "a mini society"
sebagai sarana pendidikan. Pembaharuan lebih dititik beratkan pada tingkat
sekolah dasar. Dalam kaitannya dengan pembaharuan sekolah dasar, perlu
disinkronkan antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru harus diberikan kesempatan untuk
berperan secara aktif. Sebab, pada hakekatnya, pembaharuan dilaksanakan di
kelas-kelas. Sehubungan dengan peran guru, maka IKIP sebagai lembaga yang
mempersiapkan guru, perlu untuk meningkatkan kualitasnya, khususnya, kualitas
staf pengajar.
Pacta zaman modern peranan pendidikan dalam pembangunan guna mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan semakin penting. Pengalaman pembangunan ekonomi
dinegara-negara Asia Timur khususnya, membuldikan statement tersebut.
Secara lebih terperinci, pengalaman pembangunan ekonomi di Korea Selatan,
menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara pertumbuhan ekonomi dan
pendidikan. Pendidikan diukur dengan partisipasi pendidikan untuk anak usia
sekolah dan pertumbuhan diukur dengan pendapatan perkapita, menunjukkan adanya critical
mass (Boediono, 1996) pendidikan yang diperlukan untuk mewujudkan angka
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di samping itu, kualitas pendidikan juga
memiliki peranan yang penting. Kualitas pendidikan memiliki arti bahwa lulusan
pendidikan memiliki kemampuan yang sesuai, sehingga dapat memberikan kontribusi
yang tinggi bagi pembangunan. Kualitas
pendidikan, terutama ditentukan
oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di
ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran
yang penting. Guru adalah creator proses belajar mengajar. Ia adalah
orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang
menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide dan kfeativitasnya dalam batas-batas
norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan
sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru
atas perkembaagan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat
berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan
yang lebih baik.
Namun, realitas menunjukkan kualitas pendidikan di negara kita masih
memprihatinkan. Selama ini kualitas pendidikan yang antara lain dicerminkan
oleh NEM atau nilai ujian UMPTN dari tahun ke tahun cenderung statis tidak
menunjukkan angka yang meningkat. Keadaan ini merupakan tanda-tanda bahwa
kualitas pendidikan jalan di tempat, tidak ada peningkatan kualitas pendidikan.
Sudah barang tentu keadaan tersebut berkaitan dengan proses yang berlangsung di
ruang-ruang kelas. Proses belajar
mengajar di sekolah belum sebagaimana yang diharapkan. Ruang-ruang kelas
menjadi tempat yang menakutkan, membosankan dan menjemukan bagi para siswa.
Ruang-ruang kelas belum dapat berperan sebagai tempat di mana siswa ditantang
untuk menunjukkan kebolehannya. Sebaliknya, ruang-ruang kelas merupakan tempat
di mana identitas dan kepribadian "aku''nya telah diluluhkan menjadi raw
input dalam mesin besar industri pendidikan. Mereka para siswa bukan
merupakan subjek dalam proses pendidikan, melainkan sebagai objek dalam
pendidikan. Oleh karena sebagai raw input mereka harus tunduk dan
patuh atas aturan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh fihak sekolah.
Salah satu penyebab dari keadaan dunia pendidikan yang kurang
menggembirakan tidak pelak lagi ditujukan pada ketidakmampuan guru. Banyak
tanda-tanda menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan.
E. Permasalahan guru
Permasalahan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan
guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil
pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping
muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar
guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan guru atas bidang
studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru,
d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen
sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.
Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa
merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak
saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih
daripada itu, dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin,
mengembangkan critical thinking, mendorong kemampuan untuk
belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai
yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan
kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu
dicatat bahwa, kemampuan metode dalam pengajaran kalau diujudkan dalam simbol
bagaikan angka "0". Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan
metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan
dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari
kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi
inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan
bidang studi para guru kalau diujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10,
terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA
lebih rendah lagi.
Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas
pendidikan guru dan rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini
terdapat tiga bentuk kurikulum yang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga
pendidikan guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru
(IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut
kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama
di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping
memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata
kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya
kurikulum pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa
pendidikan guru harus lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan
penguasaan materi bidang studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban
SKS di lingkungan pendidikan guru didominasi oleh mata kuliah pendidikan.
Sebaliknya, mata kuliah bidang studi jauh berkurang. lbaratnya, pada kurikulum
1984 ini cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR Hasilnya, lulusan
pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana
seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di
lingkungan pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi
antara penekanan pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu
hasil pendidikan guru masih juga diragukan, khususnya di bidang penguasaan
bidang studi.
Sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa
dilepaskan begitu saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru
diketagorikan sebagai hard profession atau soft profession.
Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi yang berbeda terhadap lembaga
dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard
profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku
dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan
bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat
distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun
pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan
akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa
pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili
kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession
adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri
pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab,
langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi
dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak
menuntut pendidikan dapat menghasilkan lulusan dengan standar tertentu
melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini
dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas
pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service
training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan,
advokat, dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini.
Berdasarkan pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession,
maka diperlukan perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP
tidak perlu diperluas menjadi universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam
universitas. Apakah ke dalam universitas yang sudah ada atau baru bukan hal
yang prinsip. Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua fakultas atau bidang
studi di universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang sudah
menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan
mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan
demikian, sistem pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini.
Pertama, pendidikan guru adalah S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan
guru tidak inferior dibandingkan dengan pendidikan ilmu murni. Ketiga,
pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas dengan mengundang
mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan sangat sedikit
mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya
bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing
guru.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan
status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan
dari kondisi ekonomi suatu negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara
akan tidak pas kalau tidak ditimbang dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji
guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara
absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut
diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena
itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan
pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa” sangat mulia dan terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda
sering lagu tersebut diperdengarkan, dan hadirin terbuai dengan kesyahduan.
Namun, barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu diubah menjadi
"Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”. Dengan demikian, kelak tidak
hanya muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang
atau ber-Escudo, simbol kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali
merupakan suatu kemustahilan, paling tidak untuk jangka pendek, untuk
merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya bersandarkan kepada
anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan mobilisasi dana
pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau
untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga,
mengapa tidak bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua
dan dukungan masyarakat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja
tidak dapat dilepaskan dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang
sentralistis, dengan menempatkan pengambilan keputusan di tangan-tangan yang
jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru.
Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA, menempatkan guru pada
posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di
kelas sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai
variabel. Oleh karena itu keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar
harus dilaksanakan yang ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal
sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Di fihak
lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru lebih ringan. Karena
kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh
instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan keadaan di
lapangan. Oleh karena itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab
lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab ini mutlak diperlukan dalam
meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat dideskripsikan bahwa keberhasilan guru
sangat tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi
dan usaha keras dari siswa di fihak lain. Oleh karena itu, guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar juga harus mampu membangkitkan semangat
untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas tersebut tidak ringan mengingat
karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru. Karakteristik pertama adalah
pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative.
Kedua, pekerjaan guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam
jangka waktu yang lama. Ketiga, ini merupakan akibat pertama dan kedua, waktu
guru untuk berdialog akademik dengan sesama guru sangat terbatas. Karakteristik
kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan
umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat meningkatkan
kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru.
Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan
self-reflection, untuk mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana
hasilnya.
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics,
menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai
kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan Boediono mengelompokan
sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi dan
aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat dikategorikan berdasarkan
tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang, kemampuan dengan
predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat penuh
dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok guru:
1) ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu, tetapi
tidak memiliki dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki
dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5)
ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak
memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki
dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki
dedikasi.
Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan
pada kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu
untuk direnungkan dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak,
upaya peningkatan kualitas guru dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan
tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain yang perlu sentuhan, yakni
semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.
F. Kebijakan meningkatkan kualitas
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam melaksanakan proses
belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana dikemukakan di atas:
aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan aspek kesejahteraan.
Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup ketiga aspek tersebut
cenderung akan mengalami kegagalan.
Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada
inisiatif dan kemauan yang datang dari fihak guru sendiri. Dengan kata lain
guru sebagai subjek bukannya objek. Untuk pengembangan kemampuan guru untuk
belajar (bukan mengajar) sangat penting. Kemampuan belajar mencakup kemampuan
untuk membaca dan mengkaji fenomena masyarakat secara efisien, kemampuan untuk
menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk dikaji, dan, kemampuan untuk
mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme atau prosedur
untuk munculnya umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang
mungkin dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self
reflection, lewat action research.
Kemampuan untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan
tumbuh subur manakala guru memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan
berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis yang berkaitan dengan
pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan untuk
mengembangkan sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan.
Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan target kegiatan yang jelas
dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Hasil kerja sekolah
atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas oleh orang tua dan
masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai konsumen.
Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu,
sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri.
Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan
inilah, school site based management merupakan suatu
tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah. Dengan sistem
manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab memajukan
sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan
meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi
siswanya.
Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus
disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site
based management menuntut partisipasi dari fihak orang tua siswa
dan masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama berkaitan dengan upaya
mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas mereka dalam
ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua
dan sekolah perlu dikembang-suburkan.
Dalam mobilisasi dana pendidikan akan terjadi ketimpangan antara satu
sekolah dengan sekolah lain, sebagai akibat adanya perbedaan kualitas sekolah.
Terdapat kecenderungan bahwa semakin berkualitas suatu sekolah maka akan
semakin besar kemampuan sekolah untuk memobilisasi dana pendidikan dari
kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah barang tentu hal ini tidak perlu
untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi anggaran pendidikan pemerintah perlu
disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Anggaran pemerintah
seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu memobilisasi dana
disebabkan kemampuan orang tua siswa yang rendah.
Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk
meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang
dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun,
seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras
untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara
sedang berkembang, nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya
meningkatkan kemakmuran masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara
sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah bisa mengambil pelajaran dari apa
yang dialami oleh negara-negara yang sudah terdahulu mengalami kemajuan. Dalam
kaitan ini, dalam upaya
meningkatkan kemakmuran bangsanya, kiranya negara-negara sedang
berkembang patut menyimak peringatan Task Force on Teaching
as a Profession on the Carnegie Forum
on Education and the Economy bahwa
"Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua
kebenaran yang fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan
tergantung pada keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik
daripada sebelumnya, dan b). kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan
tergantung pada keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang
profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan
sekolah masa depan.
G. Perubahan yang terus berubah
Proses pendidikan tidak berlangsung dalam suasana yang steril dan vakum,
melainkan proses pendidikan akan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan,
baik sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama. Oleh karenanya, dalam usaha
meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas guru para pemegang kebijakan di
bidang pendidikan harus senantiasa mengkaji dan memahami perkembangan
masyarakat. mengkaji dan memahami masyarakat lingkungan di mana pendidikan
senantiasa bereaksi merupakan sesuatu yang tidak ringan, untuk tidak mengatakan
hal itu sebagai sesuatu yang berat. Tetapi persoalannya akan semakin pelik,
karena apa yang dinamakan dengan lingkungan masyarakat senantiasa berubah
dengan cepat. Sir Charles R Snow, Filosof dan sastrawan berkebangsaan Inggris,
dalam suatu karya klasiknya The Two Cultures memberikan
gambaran kecepatan perubahan yang terjadi di masa depan dengan menyatakan
"bahwa selama sejarah umat manusia sampai abad ini tingkat perubahan
sosial sangat lambatnya sehingga perubahan dapat berlangsung tanpa kita
ketahui. Tetapi lambatnya perubahan sosial tidak akan terjadi lagi. Perubahan
sosial di masa datang/depan akan berlangsung sangat cepat. Begitu cepatnya
perubahan sehingga imajinasi kita sekalipun tidak kuasa mengikutinya".
Setiap perubahan sosial yang terjadi membawa problema baru di masyarakat.
Unluk menghadapi problema-problema baru tersebut masyarakat menuntut
pembaharuan pendidikan dan kualifikasi baru untuk guru. Dengan demikian,
pembaharuan harus pula dilaksanakan pada lembaga pendidikan guru.
Banyak problema yang akan dihadapi oleh masyarakat Indonesia sebagai
konsekuensi adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat di masa mendatang.
Antara lain:
- Fungsi
dan daya guna lembaga-lembaga sosial akan merosotdan tuntutan individu
dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat semakin meningkat.
- Timbulnya
apa yang disebut "disinformation through over
information". Informasi yang berkembang di masyarakat akan
melimpah sehingga Naisbitt mengatakan masyarakat akan ditenggelamkan oleh
informasi. Akibatnya informasi yang ada hanya mempunyai daya laku semakin
pendek. Keadaan ini juga mempengaruhi di bidang pengetahuan di mana
"kebenaran hari ini adalah suatu hal yang salah untuk hari
berikutnya".
- Melimpahkan
informasi yang ada di masyarakat akan membawa kontradiksi informasi dan
peningkatan kecepatan perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan
kekuasaan di segala aspek kehidupan. Termasuk kekuasaan orang tua,
kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin politik.
- Berkembangnya
rasa "pesimisme" di kalangan masyarakat terhadap perkembangan
yang ada, misalnya pertumbuhan penduduk yang cepat, kejahatan yang
meningkat, kerusakan lingkungan yang semakin meluas. Pesimisme yang
berlebihan akan bisa menimbulkan sikap tak acuh ataupun sebaliknya, sikap
radikal revolusioner.
- Empat
krisis uang telah disebut di depan akan menimbulkan krisis di dalam
memahami apa yang terjadi di dunia ini. Ellol, sosiolog Perancis,
menggambarkan krisis ini dengan mengemukakan,"Kita semua hidup di
dalam suatu masyarakat yang tidak bisa dibayangkan. Seseorang tidak lagi
bisa memiliki pengetahuan tentang masa depan melebihi apa yang diketahui
tentang masa kini ....... Jalinan hubungan antara fenomena, reaksi satu
terhadap yang lain, mekanisme hubungan antara peristiwa satu dengan yang
lain yang tidak terduga, dampak dari informasi yang tidak dapat
diperhitungkan lagi, faktor-faktor yang saling mengkait yang muncul begitu
terpisah satu dengan yang lain.........
dan perasaan terjebak
pada keadaan yang memusingkan
sehingga tidak dapat melepaskan diri. Masyarakat nampaknya tidak bisa
melepaskan dari keadaan yang membingungkan disebabkan apa yang terjadi di
dunia ini tidak bisa dilihat secara menyeluruh komprehensif.
M. Implikasi pada dunia pendidikan
Trend perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan
dengan adanya perubahan sosial yang cepat di atas menuntut adanya paradigma
baru dunia pendidikan. Yakni adanya pandangan holistis. Pandangan ini berarti
pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global.
Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan,
a). Bahwa pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir secara
global dan bertindak bersifat lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi,
yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula keharmonisan
dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk semuanya.
Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan kualifikasi hasil
pendidikan juga akan berubah. Pendidikan dituntut untuk menekankan pengembangan
kemampuan tertentu pada diri anak didik. Antara lain : a) kemampuan untuk
mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multidisipliner, b)
kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang sedemikian deras, untuk kemudian
dapat dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, c) kemampuan untuk
menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain secara kreatif, d) meningkatkan
kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga semakin
tinggi, e) menekankan pengajaran lebih pada learning how to
learn, dari pada learning something.
Sebagai konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan
tuntutan pembaharuan pendidikannya maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru
dengan kualifikasi dan kemampuan baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti
pembaharuan pendidikan menuntut pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan
pada pendidikan guru pada dasarnya di arahkan agar pendidikan guru mampu
menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan kualifikasi masa depan di mana
masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.
Implikasi perubahan masyarakat yang beritingsung dengan cepat dan
pembaharuan pendidikan pada pendidikan guru antara lain dapat digambarkan
sebagai berikut :
1. Masyarakat
mengalami perubahan-perubahan yang berlangsung terus-menerus dalam tempo yang
cepat mengakibatkan pengetahuan dan kemampuan guru "merosot".
Sebaliknya, perubahan-perubahan yang cepat menuntut guru harus senantiasa
meningkatkan kemampuan dirinya untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan. Sehingga
pada hakekatnya para guru di masa depan dituntut untuk bisa mengembangkan life
long education. Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu
mengembangkan inservice training yang berkesinambungan. Dengan inservice
training yang berkesinambungan ini diharapkan guru senantiasa mampu
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Salah satu model yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guru
adalah mengembangkan hubungan dengan alumni dalam suatu struktur organisasi
yang memadai yang bisa berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan kepada para
anggota baik lewat modul-modul ataupun majalah-majalah. Kesemuanya dalam upaya
menempatkan para anggota pada posisi yang mampu menyadap pengetahuan baru.
2. Di masa
depan arus informasi berlangsung pada debit yang sangat deras. Alfin Toffler
mengatakan masyarakat akan dihadapkan pada over choices, pilihan
yang berlebih-lebihan. Dalam keadaan yang sedemikian ini kemampuan yang
dibutuhkan oleh warga masyarakat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan
yang tepat. Dengan demikian pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan pengambilan keputusan tersebut. Implikasinya pada lembaga
pendidikan guru adalah bahwa beranjak dari semata-mata menekankan pada mastery
learning ke arah pada pengembangan critical thinking, decision
making skills dan communication skills. Dengan demikian
pendidikan lembaga pendidikan guru akan menekankan pada pengembangan kemampuan
untuk menseleksi informasi, kemampuan untuk memahami dan memecahkan problema,
kemampuan untuk mengembangkan alternatif, dan kemampuan untuk mengambil
keputusan. Konsekuensi lebih lanjut proses belajar mengajar pada lembaga
pendidikan guru harus bergeser dari subject oriented menjadi problem
oriented.
3. Membanjiri
informasi di masyarakat menuntut penekanan pada proses lebih daripada hasil.
Dengan demikian penyampaian materi dalam proses belajar akan lebih bersifat problem
oriented daripada bersifat materi oriented. Hal ini
menyebabkan guru tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi
bagi anak didik. Guru akan lebih banyak dituntut berperan sebagai fasilitator
dan motivator dalam proses belajar mengajar. Implikasinya, lembaga pendidikan
guru harus bisa memberikan model, bagaimana peran dosen sebagai fasilitator dan
motivator. Dengan kata lain, perlu ada perubahan penampilan para dosen lembaga
pendidikan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar.
4. Perubahan-perubahan
yang berlangsung dengan cepat, mengakibatkan struktur pekerjaan dan kualifikasi
pekerjaan juga akan berubah dengan cepat. Akibatnya, pendidikan tidak bisa lagi
mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja dengan sebaik-baiknya. Hal
ini dikarenakan kecepatan perubahan yang terjadi menjadikan kurikulum
memecahkan masalah yang sebenarnya tidak ada, dan tidak mampu memecahkan
masalah yang sesungguhnya dihadapi. Dengan demikian kurikulum akan senantiasa
memerlukan revisi yang relatif cepat. Konsekuensinya, diperlukan guru-guru yang
mempunyai daya adaptasi tinggi, untuk mampu menghadapi perubahan kurikulum.
Keadaan ini menuntut pada pendidikan guru untuk bisa menghasilkan lulusan yang
mampu mengembangkan materi pelajaran yang senantiasa berkembang dan berubah.
Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu untuk menyusun kurikulum yang
lebih mempunyai daya fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi.
3.4. Mempersiapkan Kurikulum
Pendidikan Abad XXI
Pendidikan
merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana
berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain
dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan
hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi
di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi
siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya
memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini
mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik
karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses
pendidikan tersebut diatas, kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat
tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan
seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus
ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus
dilaksanakan.
Disebut berdimensi jangka panjang karena
proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa
depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa
kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan
pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik
untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan.
Peserta didik yang berada di bangku
sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat
baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya pada abad XXI. Oleh karena itu,
muncul pertanyaan bagaimana sosok kurikulum pendidikan untuk abad XXI ?
A. Brain researchs
Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua faktor
dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana sistem kerja
otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan yang
dibutuhkan oleh dunia kerja.
Pemahaman terhadap proses pendidikan dewasa ini
didasarkan pada asumsi bahwa intelegensi merupakan ciri bawaan (heredity)
yang bersifat statis. Asumsi ini didukung oleh hasil brain research kala
itu sebagaimana dilaporkan oleh Eral Hunt (1995) yang antara lain menunjukkan bahwa:
a) sistem kerja otak statis, b) penyebaran intelegensi sebagai kurva normal
berbentuk be// shape, c) terdapat kemungkinan untuk menentukan
secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk mempelajari
konsep dan skill tertentu di
sekolah dan menguasai fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan,
d) tes standarisasi dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan
memprediksi kemampuan yang akan dapat dicapai, dan, e) intelegensi terdiri dari
kemampuan numeric dan fingual.
Implikasi dari hasil brain research ini adalah bahwa
seseorang dalam belajar bersifat pasif, hanya mampu mempelajari sesuatu
informasi secara bertahap poin demi poin, dalam praktek pendidikan siswa
dijadikan objek yang bersifat pasif dalam menerima transmisi pengetahuan dari
sumbernya, dan pemahaman komprehensif adalah strukturisasi pengetahuan dan
terjadi lewat hapalan dari serpihan-serpihan informasi, serta proses pemahaman
harus dikendalikan dari luar berupa sederetan aktivitas yang dilakukan oleh
pengajar. Pendidikan merupakan proses penyampaian informasi tersebut dan
menariknya kembali lewat tes-tes yang difokuskan pada komponen intelegensi yang
statis dan penguasaan pengetahuan. Operasionalisasi dari ide ini adalah
munculnya beberapa konsep dalam kurikulum, seperti a) pokok bahasan, b)
sub-pokok bahasan, c) mata pelajaran requirement, d) mata pelajaran
pokok, e) mata pelajaran pendukung, f) pengayaan, g) remedial, dan
lain-lainnya.
Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan
oleh Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching
and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda.
Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu,
intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, tetapi
berkaitan pula dengan emosi, sehingga disebut dengan Emotion Intellegence
yang disingkat EQ (sebagai pelengkap IQ). Bukti-bukti menunjukan bahwa
dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya
80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah
kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri
sendiri yang mencakup a) amarah, b) kesedihan, c) rasa takut, d) kenikmatan, e)
cin+a, f) terkejut, g) jengkel, dan, h) malu. Kemampuan mengendalikan aspek
psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ.
Singkat kata, kalau EQ baik otak akan dapat bekerja dengan baik pula.
Emosi akan memberikan respon terhadap stimulus yang
diterima secara sangat cepat, begitu cepatnya sehingga otak belum sempat
bereaksi. Ketidakmampuan mengendalikan aspek-aspek psikologis tersebut (atau EQ
di atas) menyebabkan perilaku seseorang tidak didasarkan oleh otak tetapi oleh
emosi. Oleh karenanya, kemampuan mengendalikan aspek psikologis atau EQ ini
perlu dilatih dan dikembangkan untuk menghasilkan respon-respon yang baik dan
tepat.
Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir
tersebut juga menunjukkan bahwa:
1. Pemahaman
adalah merupakan hasil interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik.
2. Keahlian
memerlukan pengalaman yang banyak dan analitik.
3. Ingatan
dan penggunaan apa yang diingat tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam
yang ditentukan oleh kebermaknaan informasi tersebut.
4. Intelegensi
tidak hanya memiliki aspek cognitive (berwajah cognitive atau didominasi
oleh aspek cognitive) tetapi memiliki multi aspek (banyak wajah). Howard Gardner, ahli
psikologi Cognitive dari Harvard University, telah mengembangkan teori multiple
abilities, talents, and skills. Teori lama yang hanya
menekankan pendidikan pada dua kemampuan: verbal-linguistics dan logical-mathematical,
sudah ketinggalan zaman. Terdapat berbagai kemampuan atau bakat yang dapat
memperkaya dan memajukan kehidupan dalam merespon lingkungan secara efektif.
Berbagai kemampuan tersebut antara lain:
- Kapasitas
untuk memahami ruang dan bidang yang dapat dipergunakan untuk memahami
berbagai keberadaan geografis, navigasi atau untuk mengembangkan persepsi
seseorang. Dalam tingkat yang sederhana, adalah kemampuan untuk memahami
berbagai bentuk-bentuk yang berkaitan.
- Bodily-kinesthetic
ability untuk mengontrol gerakan dan perilaku tubuh seseorang dan
menangani objek secara profesional.
- Musical-rhytmatical ability untuk
menghasilkan atau
mengapresiasi ritme, nada dan berbgai bentuk ekspresi musik.
- Interpersonal
capacity untuk menanggapi secara tepat temperamen, moods, motivasi
keinginan fihak lain.
- Intrapersonal
knowledge dari perasaannya, kekuatan, kelemahan, keinginan serta
kemampuan diri sendiri untuk mengambil kesimpulan sebagai petunjuk
perilakunya sendiri.
- Logical-mathematical ability untuk
menjabarkan sesuatu secara
logis atau pola pengelompokan numerik, dan menangani hubungan panjang yang
saling berkaitan.
- Verbal-Linguistics
sensitivity atas suara, irama, makna kata dan sensitif terhadap
berbagai fungsi bahasa.
Brain research memastikan bahwa pengalaman konkret,
kompleks dan beraneka warna sangat esensial bagi proses belajar mengajar. Siswa
perlu memahami secara baik pola-pola yang lebih besar sebab bagian-bagian
senantiasa tertempel pada keutuhan, fakta senantiasa berada pada konteks yang
beraneka warna, dan satu subjek pasti terkait dengan banyak isu dan subjek
lain. Apa yang harus dikuasai oleh siswa adalah pemahaman yang bermakna. Otak
diciptakan sebagai suatu pola detektor yang bekerja secara dinamis, dan
memahami suatu subjek sebagai hasil dari pemahaman hubungan dari berbagai
faktor.
Hal di atas tidak berarti bahwa teori dan sesuatu yang
abstrak tidak perlu dipelajari, melainkan sebaliknya, dalam dunia yang berubah
dengan cepat, semakin banyak teori, konsep, dan pemahaman dimiliki oleh
seseorang, semakin besar kemampuan orang tersebut untuk mentransfer dan menjual
skill yang dimiliki.
B. Pergeseran struktur
tenaga kerja
Bagaimana dampak pergeseran struktur tenaga kerja
terhadap pendidikan? Dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar
untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive
dan technical skill yang diperlukan pada era industri informasi
ini. Apa maknanya bagi dunia pendidikan? Dunia pendidikan harus berani
mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang
perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang
sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia
industri di masa mendatang. Oleh karena itu, membangun jembatan antara sekolah
dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah.
Pada abad XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal
dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam
ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol
tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas, dan proses
produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja.
Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa
ini bersifat fleksibel, harus dapat segera menanggapi perubahan, dan kerjasama
.dalam menyusun ongkos merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam
persaingan. Oleh karena itu, organisasi dunia industri memerlukan a) integrasi
dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin,
pemasaran, proses produksi, dll., b) herarkis struktur organisasi yang
mendatar, c) desentralisasi tanggung jawab, dan, d) lebih banyak melibatkan
karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang. Sistem ini akan lebih
responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih
memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus
menerus. Narnun, sistem ini memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil
yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik.
Persoalan yang muncul adalah: 1) Berapa besar konsekuensi dari perubahan
tersebut? 2) Seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada
dunia industri. 3) Sebarapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara
permanen?
Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak
pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti
dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi
kantor, dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari
kerja untuk pertama kali. Namun dalam perkembangannya
tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga merupakan
pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya mempersiapkan peserta didik untuk
mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Melainkan, pendidikan harus
dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja.
Sekolah Menengah Umum, di samping harus mampu mempersiapkan lulusan untuk
memasuki dunia pendidikan tinggi, harus pula mampu mempersiapkan lulusan untuk
siap memasuki pelatihan dari dunia kerja untuk memasuki berbagai bidang.
Namun, dibalik itu kita harus mencatat temuan hasil suatu
penelitian. Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana
dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work:
A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa
seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan
pengalaman dari sekolah formal. Namun, meski hasil-hasil penelitian tersebut
meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak
pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar
sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa
yang ada di masyarakat, antara lain sebagai berikut:
- Sekolah menekankan pada individual performance,
sebaliknya apa yang terjadi di luar sekolah senantiasa menekankan socially
shared performance.
- Sekolah
menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya
dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu.
- Sekolah
senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek,
sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam
menangani objek.
- Sekolah
bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum,
sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang
relevan dengan situasi tertentu.
C. Implikasi pendidikan
jangka panjang
Hasil Brain research dan pergeseran struktur
tenaga kerja tersebut di atas mengajarkan pada kita hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan kemampuan
dasar, meliputi: a) basic skills, b) thinking skill,
dan, c) personal skill. Basic skill antara lain
membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi,
matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill
terdiri dari: kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving,
visualizing, knowing hot to learn, dan, reasoning.
Personal skill meliputi: kemampuan mengendalikan diri, tanggung
jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan
integritas-kejujuran.
Kedua, kemampuan mengembangkan di tempat kerja, mencakup:
a) kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan
mengalokasi sumber-sumber, b) bekerjasama dengan orang lain (interpersonal
skill), c) menguasai dan memanfaatkan informasi, d) memahami hubungan
sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja
sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada, dan, e) bekerja
dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan
memecahkan problem.
Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan pelajaran
bercirikan sebagai berikut: a) penyajian materi bersifat tematik yang merupakan
kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, b) pengajar
merupakan team teaching bukan lagi individual, c) model cooperatiye learning
sebagai pengganti individual learning, dan, d) outcome aspek
afektif lebih jelas.
Lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja otak
dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki implikasi
terhadap proses belajar mengajar, sebagai berikut :
PERBEDAAN PROSES PEMBELAJARAN
MODEL LAMA DAN MODEL
BARU
No
|
Aspek
|
Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur
Kerja Lama
|
Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur
Kerja Baru
|
1.
|
Penyajian Materi
|
Tersusun dalam pokok bahasan dan sub pokok
bahasan
|
Tersusun dalam problem, tema dan
terintegrasi
|
2.
|
Outcome
|
Aspek kognitif sangat menonjol, aspek
afektif lemah
|
|
3.
|
Guru
|
Individual
|
Team
Teaching
|
4.
|
Prosedur
|
Relatif rigid
|
Relatif fleksibel
|
5.
|
Sasaran
|
Pemahaman konsep
|
Pemahaman konsep, hubungan dan keterkaitan
|
6.
|
Pinsip-model Learning
|
Individual
learning
|
Cooperative
learning
|
7.
|
Sasaran evaluasi
|
Individu
|
Individu dan kelompok
|
8.
|
Pola belajar
|
Potongan demi potongan menjadi gambar
|
Kerangka untuk ditempel gambar
|
D. Implikasi dalam
pendidikan jangka pendek
Berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini,
sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang
memiliki IQ relatif tinggi. Sebut saja sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan
diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang
memiliki otak relatif encer. Ditambah lagi dengan sistem pengajaran yang
bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang
berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan
tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak
relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Dengan kata lain, kebijakan dan
pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa
terpandai.
Temuan-temuan penelitian otak (brain research) mutakhir
seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’,
memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan
keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau
malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan,
sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya.
Apakah emosi itu? Emosi menurut Goleman, adalah
"suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi,
bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan
kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah
kegiatan yang mendatangkan hasil optimal.
Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk
dapat berfungsi dengan baik.
Penjabaran
emosi seringkali muncul dalam berbagai bentuk. Antara lain, marah, ketakutan,
perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan
malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan
usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun,
kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh fihak lain ataupun tidak.
Dengan demikian, guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan. Secara sadar
ataupun tidak, baik direncanakan ataupun tidak perilaku mengajar guru di kelas
mempengaruhi perkembangan emosi siswa. Oleh karena itu, pemahaman baru tentang
kerja otak mengajarkan pada kita yang bergerak di dunia pendidikan, bahwa
selain melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkatkan
kemampuan otak siswa, para pendidik, khususnya guru harus pula memiliki program
aksi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Keberhasilan
guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan
perilaku siswa yang baik. Jadi, terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil
mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang
terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara
optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.
Namun, perkembangan emosi siswa banyak dipengaruhi dengan
proses yang terjadi di luar sekolah, terutama di lingkungan keluarga. Oleh
karena itu, dalam upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan
emosi, guru harus senantiasa melakukan komunikasi dengan orang tua siswa. Tidak
jarang, siswa tidak memiliki rasa memiliki keluarga, artinya, mereka ini tidak
merasa aman dan nikmat di lingkungan keluarga. Dalam kasus ini peran sekolah
yang penting.
Upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan
emosi didasarkan pada tiga hal:
Pertama, sekolah harus mampu menciptakan rasa aman bagi
para siswa:
- Atmosfir
kelas yang demokratis
- Guru
memahami kondisi siswa.
Kedua, sekolah harus mampu menciptakan self-efficcy pada
diri siswa, yakni rasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan
tugas-tugas sekolah. Langkah yang dapat dilakukan, antara lain:
- Guru
harus menghindari dari menyalahkan siswa. Untuk mengatakan bahwa siswa
salah harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak membikin siswa malu.
- Guru
menghindarkan diri dari perilaku mengejek siswa yang dapat merendahkan
mental yang bersangkutan.
- Guru
lebih banyak mempersilakan siswa secara sukarela (voluntir) menjawab
pertanyaan atau soal. Kalau menunjuk siswa, guru perlu menghindarkan diri
dari menyuruh siswa untuk menjawab pertanyaan atau soal, yang guru sendiri
sudah memiliki pandangan bahwa siswa tersebut tidak akan bisa menjawab.
- Sekolah
harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan emosinya
daripada membendung dan menumpas emosi siswa. Olah raga dan kegiatan
kesenian merupakan saluran yang paling baik untuk menyalurkan emosi siswa.
- Guru
harus bersedia dikritik oleh siswa tanpa menunjukkan rasa marah atau
jengkel. Siswa akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi apabila
para guru terlebih dahulu memiliki hal yang sama.
Pergeseran
struktur tenaga kerja, memiliki implikasi dalam perspektif jangka pendek,
antara lain sebagai berikut:
- Sekolah
dan Guru harus mulai memperbanyak tugas-tugas yang harus dikerjakan secara
kelompok, dengan tujuan meningkatkan kemampuan siswa bekerjasama dalam
kelompok.
- Sekolah
dan guru harus senantiasa mengembangkan kaitan antara apa yang dipelajari
di sekolah dan kehidupan riil di masyarakat.
- Siswa
dibiasakan dan dilatih untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungannya,
serta menyusun laporan sebagai hasil pengamatan tersebut.
- Semenjak
dini siswa sudah dibiasakan dengan tugas-tugas yang memiliki dampak
positif bagi masyarakatnya. Misal, kerja bakti, siswa mengajar anak yang
lebih muda.
Ketiga, sekolah harus dapat membantu siswa dalam
menyalurkan emosi lewat kegiatan yang positif dan konstruktif.
3.5. Kebersamaan dalam Belajar untuk
Menghilangkan Ketimpangan
A. Ketimpangan dalam pendidikan
Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global,
terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi
ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok
miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for
Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari
1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara
kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan
dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk
miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga
penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200
industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia,
tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif
rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial
bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan
berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks.
Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu
proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu
dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari
pemecahannya secara jernih.
Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa bangsa yang menghadapi problem akan
menengok kepada pendidikan. Peran apakah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan
untuk memecahkan persoalan kesenjangan sosial tersebut? Namun, ternyata
pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog
atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society:
An Historical Sosiology of Education and
Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal
merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis
ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari
kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki
kesempatan yang lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK
sampai jurusan-jurusan pilihan di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian
besar anak dari golongan masyarakat yang tidak mampu harus menerima kenyataan
bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa
sekolahnya.
Tidak jarang sekolah yang jelek yang berada di
kota-kota, lebih khusus lagi di kota-kota besar cenderung akrab dengan
kemiskinan dan keterbelakangan. Di samping itu lingkungan sekolah yang tidak
berkualitas cenderung memunculkan kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin
yang berada di sekolah-sekolah yang "tidak bermutu" sadar bahwa
mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak dari sekolah yang
"bermutu" yang kebanyakan datang dari keluarga mampu. Mereka, sejak
dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak pernah terekspresikan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir dari kelompok miskin
cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis tergencet serta
dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan anak memiliki
emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan gampang terkena
provokasi.
Latar belakang keluarga yang didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan
mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga, ternata mengalami
kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui kenyataan betapa sulit
untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus pengayom. Interaksi di
sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi. Sekolah tidak memberikan
kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Keadaan bertambah
buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak mampu lagi menciptakan
hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan beban
kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru
tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian
profesionalnya. Tanpa ada kontak yang bermakna dan berkesinambungan antara guru
dan siswa, guru tidak akan mampu mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku
masa kini demi keberhasilan di masa depan.
B. Dimensi ketimpangan
Dimensi ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya tidak serumit yang
terjadi di masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret Batten, peneliti
pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity in Schools:
An independent Perspective', mengemukakan dua aspek penting dalam
mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama ujud ketimpangan, yang dapat
terjadi dalam ujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang berkualitas, atau ketimpangan dalam ujud output atau hasil
pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat diukur pada level individu
atau ketimpangan pada level kelompok, seperti kelompok siswa kaya dan miskin,
kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota, kelompok siswa laki-laki dan
siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua peneliti pendidikan tersebut
amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan pendidikan guna
mengatasi problem ketimpangan pendidikan.
Aspek ketimpangan dalam ujud output pendidikan dipusatkan pada
kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian seperti NEM ataupun dalam
arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut dapat dianalisis pada level
mikro individual atau dalam level makro atau kelompok. Intern suatu sekolah
dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa yang erat berkaitan dengan
latar belakang status sosial masing-masing individu. Tetapi di samping itu,
perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok, baik intern satu
sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut erat berkaitan
dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan.
James Coleman dalam 'Equality of educational opportunity'
merupakan sosiolog yang telah membuktikan adanya realitas ketimpangan output
pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input pada level kelompok di
Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang
dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas
pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil
dalam menimbulkan ketimpangan output.
Sedangkan Frederick Jenck dalam laporan penelitian Inequity in
Education membuktikan ketimpangan output pendidikan dengan
menggunakan pada level individual. Namun, kajian ketimpangan pendidikan yang
didasarkan pada output pendidikan dikritik keras oleh John Keevess,
lewat artikelnya Equitable Opportunities in Australian
education, sebab pendekatan output menjadikan ketimpangan
pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dan upaya mengatasi
ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi.
Sebaliknya, pendekatan input lebih praktis dan lebih operasional.
Pendekatan ini melihat adanya ketimpangan pendidikan dalam ujud bahwa siswa
mendapatkan kesempatan untuk menikmati fasilitas pendidikan yang tidak sama. Perbedaan
ini bisa berupa kualitas guru, prasarana dan fasilitas pendidikan, dan
sebagainya. Ketimpangan pendidikan dalam
kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dapat dianalisis pada level
individu ataupun kelompok. Ketimpangan input dan proses ini lebih mudah diatasi
dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Perbedaan antar individu dalam
suatu sekolah dapat diatasi, misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku
sehingga setiap siswa bisa menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak
negara sedang berkembang termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input
tidak selamanya akan meningkatkan output pendidikan, sebagaimana
disimpulkan oleh Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh
oleh masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar
belakang sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa
yang berasal dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku
adil terhadap semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka?
Dengan mendasarkan pada dua dimensi di atas, ketimpangan sekolah dapat
dikelompokkan dalam empat varian: a) ketimpangan dalam ujud input dalam
ukuran individual, b) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran
kelompok, c) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran individual, dan,
d) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran kelompok. Pemecahan
permasalahan ketimpangan masing-masing kelompok memerlukan kebijakan intervensi
yang berbeda.
C. Cooperative learning
Proses sekolah dewasa ini senantiasa menekankan
pengembangan siswa sebagai individu, sekolah tidak pernah mengembangkan siswa
secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya
jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi, semua itu
merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi di antara
siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan
solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang
kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Panekanan pada
pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan.
Ditambah lagi, setiap pembaharuan pendidikan pada umumnya senantiasa
menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di kota-kota, sehingga
kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh, pengenalan matematika
modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada level individual maupun
level kelompok semakin menganga.
Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial di
kalangan siswa, pendekatan
individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan
dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama, dan
kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil
keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis
kelompok adalah Cooperative Learning. Kebersamaan dan kerjasama
dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai
tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai,
kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan untuk
mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini,
guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara
kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip
kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan
masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan
demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang
pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya
bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming.
Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School
Practices That improve Race Relations" yang
dimuat pada American Educational Research Journal
menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative
learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih
tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan
sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling
kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih
terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan
guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi
sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara
kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap
dan perilaku sosial siswa.
Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan
mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan
dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada
level individual. Di samping itu, berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas
sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan
dalam ujud input pada level individual. Demikian pula dapat diharapkan
kelak akan muncul generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang
cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.
Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga
pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam
proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity
di dunia pendidikan. Dengan Cooperative Learning ini pula pada
hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang
sebenarnya, yakni menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan
ber-''hati".
3.6. Kultur Sekolah dan Prestasi
Siswa
Dengan dana yang tidak sedikit telah banyak dilaksanakan berbagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti penyelenggaraan penataran guru,
penyediaan buku teks siswa, dan pengadaan alat-alat laboratorium. Namun
demikian, kualitas sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak
mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini, sudah barang tentu, menimbulkan tanda
tanya besar: Dimana letak permasalahannya?
Untuk memberikan jawaban hipotetis atas persoalan tersebut, nampaknya hasil
kajian Hanushek atas berbagai laporan penelitian pendidikan di negara-negara
sedang berkembang patut diperhatikan. Hanushek menyimpulkan "bahwa upaya
meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan
"konvensional" dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan dana
meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, seperti pelatihan
guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan yang lain, tidaklah
menghasilkan sebagaimana yang diinginkan". Oleh karena itu, agar mutu
meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana selama ini telah
dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan in-konvensional.
A. Kultur sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok
yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar,
kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk
peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama,
yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek
kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh
aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah,
karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini
bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek di atas,
bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata
lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni,
meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok
masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin
baik dalam ujud fisik maupun abstrak.
Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap
hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan
sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu,
suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi
berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang yang didesain untuk
memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.
Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah)
yang diduga sebagai faktor yang paling menentukan kualitas sekolah. Tetapi
berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi
pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The
Third international Math and Science Study)
menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati pada
rangking atas untuk mata pelajaran matematik, padahal kultur negara-negara
tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan
pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu
faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir
penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa "faktor penentu kualitas
pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang
berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi
juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah".
Konsep kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia
industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif. Salah satu
ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog
Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman
terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit.
Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di atas, kultur
sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap,
ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang
sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala
sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.
Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika
Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang
"sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi
siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi kerja guru, dan, c) produktivitas dan kepuasan kerja
guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian
suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada suatu kultur
sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain,
seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap
prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e)
ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan
kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak
kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah
bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti
semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.
Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur
sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi mengingat bahwa sekolah
sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil
penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling
tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita.
B. Faktor pembentuk kultur sekolah
Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di
sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan yang dipengaruhi oleh
struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka dengan aspek-aspek dan
komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran
dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah yang ketat berlebihan dan ritual
sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik baik antar siswa
maupun antara sekolah dan siswa. Sebab aturan dan ritual sekolah tersebut tidak
selamanya dapat diterima oleh siswa. Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakini
tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap dipaksakan akan
menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk menjadi dirinya.
Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann Bradley dalam 'Hardly Working'
mengemukakan hasil penelitian tersebut. Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di
New York City menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka
menyatakan kalau dia mau dia akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka
tidak menghendaki ikut tes karena hanya akan membikin mereka harus belajar
lebih banyak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan
nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR.
Sekitar 60% menyatakan mereka malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik
dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi. Di samping itu
sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam
melaksanakan proses belajar mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua
proses belajar di sekolah berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah
ditentukan. Sebagian siswa yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan
mereka dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan
memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka
juga tidak menghargai guru. Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa
yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus
mendapatkan diploma dan diploma merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak
diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
C. Peran kepala sekolah
Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada
sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola
kepemimpinannya. Perubahan kultur yang lebih "sehat" harus dimulai
dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling
perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi
bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa
ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan
kepemimpinan kepala sekoloh, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma,
kepuasan terhadap kelas, dan produktivitas sekolah. Pandangan ini sangat
penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.
Kultur sekolah ini berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala
sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk
menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun
kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara
kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga profesional.
Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala dapat berperan sebagai model, b)
mampu membangun tim kerjasama, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d)
harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan
guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena,
akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan
memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami
permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala
sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam
menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses
pendidikan.
3.7. Hasil Pendidikan yang Utuh
Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar
bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan
sia-sia. Perumpamaan ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya
persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan
materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah,
melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah
SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan
sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih
rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang
menuntut kualifikasi pendidikan yang
lebih tinggi. Untuk itu,
betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan
dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan
pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam
kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era
globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek
kehidupan masyarakat.
A. Basic skills
Fenomena terjadinya degradasi pendidikan bukanlah hanya di negeri kita atau
negara sedang berkembang yang lain. Dua guru besar ekonomi, Richard J. Murname
dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah melakukan studi yang
mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola.
Hasil kajian keduanya sebagaimana yang dimuat dalam bukunya 'Teaching The
New Basic Skills' (1996), antara lain membuktikan bahwa
meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik telah meningkat dari
skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk anak usia 9 tahun
dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi
307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi
fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas. Akibat degradasi
ijazah ini mengakibatkan penurunan gaji yang diperoleh lulusan SMA pada masa
kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Kalau pada tahun 1979
lulusan SMA dengan memiliki pengalaman kerja sekitar 10 tahun memperoleh gaji
27.500 dollar, maka pada tahun 1993
lulusan SMA dengan pengalaman kerja 10 tahun hanya memperoleh gaji 20.000
dollar. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa ditingkatkan
tetap saja akan muncul problem, sebab persoalan utama adalah dunia ekonomi
mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan di fihak lain dunia pendidikan
bergerak maju sangat lambat.
Sejalan dengan itu, bagi kedua ekonom tersebut, kebijakan yang diperlukan
adalah bagaimana mempercepat kemajuan dunia pendidikan dalam arti yang utuh dan
hakiki, lewat reformasi pendidikan yang mendasar sehingga memungkinkaan
pendidikan berkembang dengan cepat, tidak sekedar meningkatkan kemampuan daya
serap materi pelajaran sebagaimana ditunjukkan dengan skor hasil tes.
Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan
tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang
diperlukan di dunia pendidikan adalah
menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta
didik. Skill dasar tersebut meliputi:
- The hard
skids, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving,
kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang
ada sekarang ini pada SMU.
- The
soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok
dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun
tulis.
- Kemampuan
memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor.
B. Pendidikan holistik
Pada hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk menghasilkan manusia yang
utuh. Namun, kenyataan dalam praktek dewasa ini tak terhindarkan lagi bahwa
tujuan pendidikan hanya menekankan aspek kognitif dengan ditunjukkan oleh
sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang menghasilkan NEM. Sehubungan
dengan itu, basic skills yang diajukan oleh kedua pakar ekonomi di atas
justru telah mencakup ketiga aspek: kognitif (the hard skills
dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft
skills). Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut
dapat dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang
utuh?
Dunia pendidikan sudah sangat terbiasa dengan pembagian sesuatu ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil, seperti bidang studi dipecah-pecah dalam pokok
bahasan, dan sub-pokok bahasan. Administrasi juga dipisah-pisah menjadi
bagian-bagian yang kecil-kecil. Pemecahan menjadi berbagai pecahan kecil-kecil
ini berdasarkan asumsi bahwa kalau serpihan-serpihan digabungkan akan menjadi
satu keutuhan kembali. Namun asumsi ini jauh dari realitas yang berlangsung.
Siswa yang memiliki NEM tinggi untuk suatu mata pelajaran tidak berarti siswa
telah menguasai pelajaran tersebut secara utuh. Sebab, memang secara substansi
gabungan-gabungan dari serpihan-serpihan tidak harus diartikan mesti menjadi
satu keutuhan. Demikian pula, asumsi bahwa Guru bimbingan dan konseling
ditambah guru agama serta guru PPKN bertugas untuk mengembangkan sosial dan
emosi siswa, sedangkan, guru-guru mata pelajaran yang lain, seperti matematika,
fisika, ekonomi, bertugas untuk mengembangkan intelektual siswa, sulit untuk
terus dipertahankan.
Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti
dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing
and Reasoning in College: Gender-Related Patterns
in Students' Intellectual Development, 1995)
menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional
harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini
peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang
berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di
luar sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (Sudah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa
proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang
motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi
rendah.
C. Aspek mikro dalam pendidikan
Dalam kaitan pengembangan diri pribadi yang holistik ini sudah barang tentu
proses belajar mengajar yang didominasi oleh ceramah dengan guru sebagai
sumber tunggal dan siswa sebagai pendengar yang baik mendapatkan kritikan yang
keras. Sebagai alternatif muncullah berbagai ide seperti Teori Pendidikan
Pembebasan oleh Fraire, teori Constructivist oleh Brooks dan Brooks, Cultural
Perspective oleh Rhoads dan Black, Collaborative Learning
oleh Bruffee. Teori-teori pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk mengubah
proses belajar mengajar yang bersifat monolitik dan steril dari
peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar sekolah, sebagaimana yang
dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan melibatkan sosial dan emosi
dalam proses pembelajaran. Dengan mengubah otoritas pembelajaran dari tangan
guru dan lebih menekankan unsur pengalaman pribadi siswa dalam proses
pembelajaran, disertai dengan mengkaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan
apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya, diharapkan pendidikan akan lebih
dapat mengembangkan diri siswa secara utuh.
Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan perkembangan teori-teori
pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip
bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat,
bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Ia menyatakan bahwa sistem
pendidikan harus ditransformasikan lewat praksis, di mana refleksi dan aksi
akan secara bergantian mengubah tatanan yang ada. Teori Pembelajaran Constructivist
didasarkan pada prinsip bahwa guru harus me nyediakan lingkungan belajar yang
memungkinkan siswa mencari makna, menghargai ketidakpastian, dan bertanggung
jawab dalam proses "pencarian". Teori ini mengakui bahwa penekanan
pada kinerja dan memberikan jawaban yang benar pada soal model pilihan ganda
menghasilkkan pemahaman yang minim pada diri siswa, sedangkan fokus proses
pembelajaran adalah menimbulkan pada diri siswa pemahaman yang mendalam dan
kemampuan mempergunakan konsep dan pengetahuan yang diperoleh sampai di luar
ruang-ruang kelas. Teori Constructivist
membantu siswa untuk mampu bertanggung jawab atas proses pembelajaran yang
dilakukan oleh diri seseorang yang mandiri, mengembangkan pemahaman dan konsep
secara terintegrasi, dan mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
penting. Teori Pembelajaran Kultural menekankan kekuatan kultur dan subkultur
masyarakat. Teori ini memiliki prinsip bahwa lewat sistem kultural yang ada
dewasa ini kondisi pendidikan dapat dianalisis dan diubah untuk dikembangkan
menjadi proses pembelajaran yang efektif. Untuk itu pendidikan harus meninjau
ulang asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri dalam praktek pendidikan. Teori
pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang
digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan
emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan
poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses
aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya
proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif.
Berdasarkan uraian di atas, maka lembaga pendidikan harus bergeser untuk
mengembangkan kultur pembelajaran yang holistik termasuk mengembangkan visi
pendidikan yang jelas, konsisten, disertai dengan kepemimpinan yang dapat
memberikan arah, memajukan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran,
mengembangkan masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya iklim belajar di
manapun juga, dan secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional
baik di kalangan guru ataupun siswa. Kepemimpinan yang konsisten dan mampu
memberikan arah diperlukan sebab budaya masyarakat memang menghendakinya.
Prinsip kepemimpinan tersebut memiliki implikasi bahwa kepemimpinan lembaga
harus dilihat sebagai suatu keniscayaan, bahwa transformasi pendidikan mencakup
seluruh hirarkis kelembagaan. Dengan demikian, transformasi pendidikan
diarahkan untuk mengembangkan sejumlah peran kepemimpinan di sekolah,
meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, menciptakan
lingkungan yang mendorong siswa untuk ambil peran, mendorong dan menghargai
inisiatif siswa, dan memberikan insentif bagi keterlibatan siswa. Tujuan akhir
transformasi pendidikan adalah menghasilkan siswa yang utuh: Kematangan
intelektual, sosial, dan emosi.
3.8. Reformasi Pendidikan: dari Fondasi
ke Aksi
Krisis yang dialami bangsa Indonesia
baik ekonomi, politik dan keamanan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis
tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan
keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan
tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines
as ussual). Orientasi
pelayanan pendidikan dengan menggunakan cara berfikir lama tidak dapat
diterapkan dengan begitu saja, dan bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan pendidikan pada keseimbangan baru ini. Cara-cara
berpikir baru dan terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan
untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada saat ini dan di masa mendatang.
Dengan kata lain, reformasi pendidikan merupakan suatu imperative action.
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan
memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi
pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang
panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo
yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo
yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo
yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang
diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk
reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi
diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu
enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau
periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan
peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk
mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu
pendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat
berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk
itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas
berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan
reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan
di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang
harus diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap
reformasi pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan
pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau
jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil
penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program
reformasi yang utuh, jelas dan realistis.
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat
mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan
keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan.
Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan
keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi
tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci
yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi
akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor
tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
Implementasi reformasi pendidikan yang berada di antara kebijakan publik
dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada
empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi
Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.
A. Dimensi fondasional kultural
Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma
berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa
jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang
memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan
komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan
orang tua siswa.
Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh
perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di
sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan
perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya,
dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.
Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek teknis yang dapat
disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan tidak dan lebih dari
sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural
dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural merupakan sesuatu yang
bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural
dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada
dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan
inti dari reformasi pendidikan.
Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus diperlakukan sebagai
suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar
institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai
suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki
sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati dengan sistem thinking.
Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang
lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi
struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a) keterbatasan perubahan
pendidikan, b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan, c) perkembangan
pendidikan, dan, d) sektor pendidikan yang kurang dijamah.
B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk
di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan.
Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah
plural yang satu sama lain saling berinteraksi. Keberhasilan dalam
mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan
tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi, menuju arah tunggal:
meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian
kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya.
Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak politik warga sekolah,
khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas.
Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam
kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi yang dimiliki sekolah,
keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat
sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas,
tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat sekitar.
Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping kepemimpinan Kepala Sekolah
merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah harus senantiasa
memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak banyak memberikan
instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan, insentif dan
penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan reformasi pendidikan
ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki
otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi
sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan
memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini dengan agenda aksi
reformasi.
Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi.
Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan
kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi
di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di
antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini
akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian kesempatan dan
dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran
sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi titik pusat dalam
reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning) terjadi manakala
guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri
tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang
lebih baik.
C. Dimensi teknis operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan profesional dan
bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik. Dengan kata lain, aspek teknis
dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk melakukan reformasi pada
dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana dituntut
oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya perubahan perilaku
baik siswa, kepala sekolah dan juga di lingkungan kantor pendidikan selaku
fihak yang memiliki wewenang untuk. merumuskan kebijakan pendidikan.
Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi pendidikan pada umumnya
adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan paedagogik.
Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada penguasaan akan
konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan antar konsep-konsep
tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai
konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat
dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta.
Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus
memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar
yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang
melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media
cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi
akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah.
Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan
mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.
D. Dimensi kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan tertutup, namun terbuka,
senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan.
Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi
pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap
pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan.
Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh seberapa besar
dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang tua siswa yang
memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan dalam proses
reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa
khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk
antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk
meningkatkan proses pembelajaran.
Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh masyarakat pada
umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan mengambil peran dalam
melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka sendiri.
Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan,
Teknis-Operasional dan dimensi
kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b)
hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk
terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk
muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks analisis reformasi
sebagai berikut.
MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN
|
Kondisi Masa Kini
|
Esensi Reformasi
|
Faktor Penghambat
|
Program Aksi
|
Aspek Teknis
|
Pengajaran one way direction dan tidak dapat
merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas kurikulum
sangat rendah
|
Meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru,
mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan guru sehingga
menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum yang menekankan
pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut yang terintegrasi
ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel. Mengembangkan norma baru
tentang peran dan perilaku baru siswa dalam pembelajaran, mengembangkan dan
membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
|
Kualitas dan kemampuan guru kurang siap untuk
melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist).
Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di
harapkan.
Siswa terbiasa belajar dengan mendengar, menghafal,
dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi di kalangan guru untuk melaksanakan
feformasi.
|
Meningkatkan sistem In service Training yang
lebih komprehensif.
Memperbanyak forum bagi guru untuk meningkatkan
kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan majalah/Jurnal Guru secara
berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Membekali para guru dengan kemapuan penelitian aksi,
sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan
mengajar.
|
Aspek Politis
|
Manajemen sentralistis birokratis.
Kepala Sekolah terbiasa bergantung keatas.
Inovasi pada dimensi sekolah amat rendah.
|
Menciptakan sistem persekolahan dimana masing-masing
sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala Sekolah dengan
sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk senentiasa berupaya
memberdayakan guru.
Menjadikan Fungsi pokok Departemen Pendidikan,
Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan pelayanan kebutuhan
sekolah untuk mencapai program nasional.
|
Tidak adanya konsesus yang jelas dan terbuka
berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan luas
masyarakat.
Pola kepemimpinanpaternalistik.
|
Memberikan kewenangan yang luas bagi Kepala Sekolah
dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah masing-masing. Seperti,
merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber, dan menentukan
sasaran dan target sekolah.
|
Aspek Kultur
|
Kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan kepala sekolah gaya komando. Kultur
sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran persaingan, kurang
kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang disiplin dan
belajar keras.
|
Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku.
Mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi
dalam proses pembelajaran.
|
Fokus sekolah terlalu menekankan NEM, dan
mengabaikan aspek yang lain.
|
Mengembangkan sistem insentif dan rewards bagi
upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan atas keberhasilan
guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi intelektual tetapi juga
pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan di samping suasana
kompetitif di sekolah.
|
Aspek Kontekstual
|
Terpisah dari masyarakatnya.
Dukungan masyarakat rendah.
Faktor negatif lingkungan amat besar (TV, Film, dll)
|
Mengembangkan iklim hubungan sekolah dan masyarakat
yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu dengan masyarakat
sekitar.
|
Sebahagian besar siswa berasal dari tempat yang jauh
dari sekolah.
Masih besar rasa ketidakpercayaan penggunaan
fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat tidak melihat sekolah bagian dari mereka.
|
Memberikan kesempatan seluas-luasnya partisipasi
orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka.
|
E. Sekolah mandiri
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan
siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah
satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni,
suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang
terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa
dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen
sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar
yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar,
apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak
akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam
konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam
melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik
kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan
dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah
dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan
mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai
administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara
kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat.
Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap
sekolah memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan
pada data kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki
kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh
komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan
utama memberikan kepuasan maksimal bagi
siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah
mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi
internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
F. Ciri sekolah mandiri
Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di
sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah
dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan
peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah
untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi
Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda
organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan
otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan
harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan
sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan orang
tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan
pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam
menentukan kegiatan.
Visi dan misi
Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi suatu sekolah
merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen sekolah akan
keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan memberikan
inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi
sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, realistis,
menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan.
Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan pernyataan tentang
gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang
tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan
gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk
konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan.
Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau spesifikasi visi dan misi
pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi lokal.
Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah
memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan
misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu cluster sekolah.
Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi segenap warga sekolah:
Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa, dengan
pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang harus kita perbuat atau
kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala sekolah harus selalu
ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya jadi kepala sekolah?
Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah? Bagaimana saya melakukan
pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru: Mengapa dan untuk apa
saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai guru? Bagaimana saya
melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan tersebut akan mendorong
seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja
keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah.
Sekolah sebagai sistem organik
Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik akademik maupun
non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal dalam proses
belajar mengajar, interaksi antar guru,
interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus kenaikan pangkat
guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam proses bagaimana
tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru dan kepala
sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru, dan
sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut,
memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu
sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang
ada di sekolah.
Inti dari interaksi
pendidikan adalah interaksi
formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi
dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan.
Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'.
Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi
akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang
lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan
kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel
bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan
kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut.
Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan
individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan
kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif.
Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan
sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan
pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah.
Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan
secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan
memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi
saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat
memisahkan keduanya.
Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu mengidentifikasi keberadaan
berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing karakteristik pokok yang
menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi formal dalam ujud proses
belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c) interaksi guru formal dalam
rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi siswa di luar kelas, dan
sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih dapat diperinci. Interaksi
belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru dalam menjelaskan materi, b)
interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan terhadap siswa, c) interaksi guru
dalam menanggapi jawaban siswa, dan sebagainya.
Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan menghasilkan energi
yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif apabila hasil interaksi
akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras. Sebaliknya, bersifat negatif
apabila interaksi akan menyebabkan seseorang menjadi malas, tertekan, dan
menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi kedokteran, interaksi antar dokter
menimbulkan energi positif untuk kemajuan ilmu kedokteran, sebab apabila dokter
ketemu dokter mereka bertukar pikiran tentang bagaimana pengalaman mereka
berkaitan dengan praktek pengobatan. Demikian juga kalau insinyur ketemu
insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana teknik pembangunan jalan layang baru
yang lebih hemat dan canggih telah diketernukan, sehingga interaksi ini
menimbulkan energi yang positif. Tetapi tengoklah, kalau guru berinteraksi
dengan guru, jarang mereka membicarakan pengalaman masing-masing dalam
interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru dengan guru dapat diubah dan di
arahkan dalam interaksi mereka membicarakan pengalaman mereka tentang proses
belajar mengajar, maka interaksi ini akan menimbulkan energi yang dahsyat yang
akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya
guru membiasakan berdiskusi dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan
mengalami perubahan besar.
Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem organik, kepala sekolah di
samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah sebagai individu atau
kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian terhadap proses
interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut harus dicermati
dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah berperan untuk
memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta mengelola energi
tersebut
untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh
warganya harus bersifat adaptif.
Dekonsentrasi dan desentralisasi
Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan.
Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri perlu dikembangkan
Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi organisasi
pendidikan.
Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan
pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan.
Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk
merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan
dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan.
Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan
melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.
Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan restrukturisasi organisasi dengan
menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada Kantor Daerah Pendidikan.
Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab,
kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi
lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki fungsi mewakili Departemen
dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya masing-masing.
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab, cara-cara yang
selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan dapat
memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan
ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat
keharusan reformasi pendidikan.
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat menyeluruh dan mendasar,
menyangkut dimensi kultural-fokasional, politik-kebijakan, teknis-operasional,
dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam dalam dunia pendidikan saat ini harus
dihindarkan, sebab hanya akan berakibat menunda datangnya bencana yang lebih
parah lagi.
Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul
resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan
perlu untuk:
1.
Mendapatkan dukungan dari
kalangan profesional dengan: a) memberikan
pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk
mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.
2.
Mengembangkan kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
3.
Mengurangi beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan
pada aspek teknis profesional.
Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi pendidikan juga harus
menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau semu dengan mengorbankan
pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini
dapat terjadi, misalnya, apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang
memfokuskan pada perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai
materi baru, memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu
peserta didik mengembangkan peran dirinya yang baru.
Sumber: Pak Guru_on line